Kisah Pilu Warga Palestina di Tepi Barat, Bertahan Hidup dengan Kesederhanaan hingga Terancam Diusir Israel

Tentara Israel selama bertahun-tahun telah menghancurkan gubuk-gubuk itu, kata Abu Sabha. Sekarang, dengan dukungan pengadilan, pengusiran sepertinya tinggal menunggu waktu.

Muhammad Ilham Baktora
Minggu, 12 Juni 2022 | 19:05 WIB
Kisah Pilu Warga Palestina di Tepi Barat, Bertahan Hidup dengan Kesederhanaan hingga Terancam Diusir Israel
Pembongkaran bangunan warga Palestina di Tepi Barat oleh Israel [Foto: ANTARA]

SuaraJogja.id - Sekitar 1.200 warga Palestina yang bermukim di wilayah pendudukan Tepi Barat terancam dipindahkan secara paksa karena tempat tinggal mereka akan dijadikan zona tembak tentara Israel.

Perjuangan satu dekade lewat jalur hukum berujung pada kekalahan bulan lalu di Mahkamah Agung Israel. Putusan MA itu akan mendorong penggusuran masif, terbesar sejak Israel merebut wilayah itu dalam perang Timur Tengah 1967.

Namun para pemukim menolak untuk pindah. Mereka berharap perlawanan mereka dan tekanan internasional akan mencegah Israel melakukan pengusiran.

"Mereka ingin merebut tanah ini dari kami untuk membangun permukiman," kata Wadha Ayoub Abu Sabha, seorang perempuan yang tinggal di al Fakheit.

Warga Palestina yang mendiami dusun itu bekerja sebagai penggembala dan petani. Mereka mengaku memiliki keterikatan dengan tempat itu.

"Kami tak akan pergi," kata dia.

Pada dekade 1980-an, Israel menyatakan daerah itu sebagai zona militer tertutup yang dikenal dengan nama "Firing Zone 918". Di pengadilan mereka berdalih bahwa lahan seluas 3.000 hektare di sepanjang batas Tepi Barat yang mereka duduki itu "sangat penting" untuk kegiatan pelatihan.

Mereka juga mengatakan bahwa warga Palestina yang tinggal di sana hanyalah penduduk musiman.

"Ini adalah tahun kesedihan yang luar biasa," kata Abu Sabha warga Tepi Barat mengisahkan dengan suara bergetar ketika dia duduk di dalam salah satu tenda yang masih berdiri dan hanya diterangi satu bola lampu.

Masyarakat di daerah itu (bagian dari Perbukitan Hebron Selatan) hidup secara tradisional di gua-gua bawah tanah. Selama dua dekade terakhir, mereka juga mulai membangun gubuk seng dan ruang kecil di atas tanah.

Tentara Israel selama bertahun-tahun telah menghancurkan gubuk-gubuk itu, kata Abu Sabha. Sekarang, dengan dukungan pengadilan, pengusiran sepertinya tinggal menunggu waktu.

Tak jauh dari situ, harta keluarganya telah menjadi tumpukan puing setelah tentara datang dengan buldoser untuk merobohkan bangunan.

Dia menyesali kerugian besar yang dideritanya mulau dari hewan ternak yang jumlahnya telah berkurang hingga barang berharga baginya. Hewan ternak, menurut Abu Sabha lebih bernilai daripada perabotan yang hancur.

Seorang pengembala tua di wilayah Tepi Barat, Palestina. [Shutterstock]
Seorang pengembala tua di wilayah Tepi Barat, Palestina. [Shutterstock]

Warga Palestina Gagal Buktikan Klaim

Banyak argumen yang disampaikan selama persidangan berpusat pada apakah warga Palestina yang tinggal di daerah itu sebagai penduduk tetap atau musiman.

MA memutuskan bahwa penduduk di sana gagal membuktikan klaim tempat tinggal permanen mereka, sebelum daerah itu dinyatakan sebagai zona tembak.

Keputusan itu didasarkan pada foto-foto udara dan nukilan dari sebuah buku terbitan 1985 yang diklaim kedua pihak sebagai bukti.

Yaacov Havakook, ahli antropologi asal Israel dalam bukunya yang berjudul "Life in the Caves of Mount Hebron" (Hidup di Gua Gunung Hebron) banyak menjabarkan klaim tanah serta sejarah tanah tersebut ditempati. Dia menghabiskan waktu tiga tahun untuk mempelajari kehidupan petani dan penggembala Palestina di Masafer Yatta.

Havakook menolak berkomentar saat ditanyai terkait perseteruan hingga klaim penempatan tanah di Tepi Barat. Dia mengatakan telah berupaya mengirimkan pendapat ahli untuk kepentingan para penduduk di sana atas permintaan pengacara mereka.

Namun, Havakoo telah dilarang melakukan hal tersebut karena pada saat itu dia bekerja untuk kementerian pertahanan Israel.

PBB Tak Setuju dengan Keputusan Pengadilan

Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) dan Uni Eropa (EU) mengutuk keputusan pengadilan MA itu dan mendesak Israel untuk menghentikan penghancuran dan pengusiran.

"Pendirian zona tembak tidak bisa dianggap sebagai 'alasan militer yang sangat penting' untuk memindahkan populasi di bawah pendudukan," kata juru bicara EU dalam pernyataan tertulisnya.

Dalam transkrip rapat tingkat menteri tentang permukiman pada 1981 yang diungkap oleh para peneliti Israel, menteri pertanian Ariel Sharon mengusulkan, agar militer Israel memperluas zona pelatihan di Perbukitan Hebron Selatan untuk mengusir warga Palestina dari tanah mereka.

"Kami ingin menawari Anda zona pelatihan yang lebih banyak," kata Sharon, mengingat penyebaran penduduk desa Arab dari perbukitan itu ke arah gurun.

Beruntung bagi Sharon tanpa memperhatikan kesejahteraan warga Palestina di Tepi Barat saat itu. Ia kemudian menjadi perdana menteri Israel.

Ilustrasi Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB). (Shutterstock)
Ilustrasi Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB). (Shutterstock)

Militer Israel menjelaskan bahwa daerah itu dinyatakan sebagai zona tembak untuk beragam kepentingan operasional yang relevan.

Mereka juga mengatakan bahwa warga Palestina telah melanggar perintah penutupan dengan mendirikan bangunan tanpa izin selama bertahun-tahun.

Menurut PBB, otoritas militer Israel menolak sebagian besar permohonan warga Palestina untuk mendapatkan izin mendirikan bangunan di "Area C", sebuah kawasan yang mencakup dua pertiga wilayah Tepi Barat.

Di kawasan itu, Israel memegang kendali penuh dan sebagian besar permukiman Yahudi didirikan. Di kawasan lain di Tepi Barat, warga Palestina memiliki daerah otonomi terbatas.

Data PBB juga menunjukkan bahwa Israel telah menandai hampir 30 persen Area C sebagai zona tembak militer. Tindakan itu berisiko mengusir secara paksa 38 komunitas Palestina yang paling rentan.

Berbeda untuk warrga Palestina, permukiman Yahudi di kawasan itu terus diperluas dan semakin membatasi pergerakan warga Palestina. Lahan untuk menanam dan menggembalakan ternak juga semakin menyempit.

"Semua pohon zaitun ini milik saya," kata Mahmoud Ali Najajreh dari al-Markez, dusun lain yang terancam digusur, sambil menunjuk ke arah rerimbunan pohon. "Bagaimana bisa kami pergi?."

Sekitar 3.500 pohon zaitun yang dia tanam dua tahun lalu itu mulai bertunas.

"Kami akan menunggu debu mengendap, lalu membangun lagi," kata Najajreh.

"Lebih baik kami mati daripada pergi dari sini," tegas Mahmoud Ali. [ANTARA]

BERITA TERKAIT

REKOMENDASI

News

Terkini