"Misalnya kalau di Amerika atau di Eropa, biasanya kalau tiket naik bus, misalnya saja, kalau orang yang non-difabel, dia bayarnya 100 persen, kita hanya 50 persen, sisanya ditanggung oleh negara. Demikian juga soal pajak, harus mengalami pengurangan pajak atau tax extension seperti itu kalau misalnya alat bantu dengar," sambungnya.
Sayang, menurut Risnawati, pemerintah belum paham akan ergonomi dan kualitas alat bantu, termasuk alat bantu dengar. Di AS, Risnawati menceritakan, alat bantu dengar dilengkapi fitur bluetooh, sehingga teman tuli yang menonton di bioskop bisa mengikuti pembicaraan dari film yang diputar.
"Di Indonesia enggak ada. Alat bantu dengar harus di-update ada bluetooth-nya, sehingga ketika ada conference, teman-teman sudah bisa menangkap pembicaraan dari diskusi di conference hall. Nah ini belum ada sampai pemikiran ke sana, apalagi pengurangan pajak alat bantu dengar. Karena alat bantu jalan maupun alat bantu dengar masih termasuk sebagai pajak barang mewah, jadi mahal sekali," jelas Risnawati.
"Persoalannya, Kementerian Keuangan masih belum mau menjadi penanggung jawab kementerian terhadap peraturan yang konsesi ini. Mereka pikirnya tidak ada hubungannya dengan perpajakan, padahal ada sekali karena saya mengurus ini sejak tahun akhir 2009," tambah dia, menyinggung soal surat rekomendasi Kementerian Kesehatan, Kementerian Perdagangan, hingga Kementerian Sosial.
Baca Juga:Kisah Risnawati dalam Memperjuangkan Hak Disabilitas (Bagian 2-Selesai)
Kekerasan seksual pada penyandang disabilitas
Selain itu, masih banyak pula penyandang disabilitas yang mengalami kekerasan seksual karena stigma aseksual yang dilekatkan pada mereka.
"Mereka dianggap tidak punya gairah seksual sama sekali, jadi mau diperkosa mau dilecehkan mereka tidak apa-apa. Stigmanya masyarakat masih seperti itu, sehingga ini yang menjadi lingkaran setan untuk para penegak hukum sendiri," keluh Risnawati.
Selama melakukan advokasi bagi para penyandang disabilitas yang menjadi korban kekerasan seksual, Risnawati dan timnya mendapat hambatan di proses hukum.

"Di Sleman sendiri baru yang dilaporkan saja lebih dari 130 kasus, tapi yang masuk ke pengadilan paling hanya satu atau dua. yang selebihnya enggak pernah diproses ke pengadilan. Jangankan Indonesia, di Jogja aja udah banyak kasus yang tidak pernah dilakukan prosekusi sampai di pengadilan seperti itu, sehingga ini yang menjadi hambatan bagi kami untuk memberikan penguatan bagi kelompok disabilitas, karena mereka takut aparat penegak hukum kan belum sensitif disabilitas gitu ya," ungkapnya.
Baca Juga:Liputan Khusus: Kisah Risnawati dan Perjuangan Hak Disabilitas (Part 1)
Dengan adanya Undang Undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (UU TPKS), Risnawati mengaku lega, tetapi tetap saja, ia masih menggantungkan harapan pada pemerintah supaya hukum yang sudah ditetapkan benar-benar diimplementasikan dengan berpihak pada korban.
Risnawati juga berharap, keluarga yang memiliki anak atau saudara disabilitas didorong untuk ikut aktif untuk memperjuangkan isu ini. Harapan yang sama ia utarakan pula pada masyarakat sipil lainnya, terutama organisasi non-disabilitas.
"Sehingga mereka bisa menyuarakan isu disabilitas ini bersama-sama dengan kita, jadi tidak berjuang sendiri-sendiri gitu maksudnya," ujar Risnawati.