Normalnya, kalau jadwal musim berjalan sebagaimana mestinya, saat ini kopi memasuki puncak masa panen.
"Dalam artian waktunya hujan ya hujan, waktunya kemarau ya kemarau, kopi paling tidak panen mulai Mei. Mei [kopi] arabika mulai panen, disusul robusta, puncaknya Agustus. [Sekarang ini] masih panen tapi tahun ini kurang, ada yang buahnya di batang, ada yang dijemur," lanjut Sekretaris Koperasi Kebun Makmur ini.
Kala ditanya apakah berjalannya musim saat ini masih sesuai tidaknya dengan situasi masa sebelum ini, Marno tak menampiknya.
"Cuma....., keseragaman tidak seragam, satu batang itu ada yang saat ini masih yang hijau masih merah, sudah disusul bunga. Kenapa berbunga? karena ini waktunya belum hujan tapi ini sudah hujan," imbuh dia.
Menghadapi efek erupsi dan perubahan iklim, petani di sekitar lereng merapi tak pasrah begitu saja. Mereka ambil sejumlah langkah seperti pemupukan dan pemangkasan.
Produksi Kopi Merapi Anjlok hingga 50 Persen
Selain Sumarno, ada Sumijo yang turut membagikan pasang-surut pertanian kopi lereng Merapi. Juragan Warung Kopi Merapi ini bukan hanya sekadar penjual kopi, pebisnis kedai, melainkan juga petani kopi yang turun-temurun membudidaya kopi di kebung Petung, Kepuharjo, Kapanewon Cangkringan, sejak ia masih duduk di bangku Sekolah Menengah Atas.
"Awalnya di Sleman ada lahan kopi seluas 850 Ha, kemudian karena erupsi Merapi 2010 bisa dibilang 90 persen lebih [tanaman kopi] habis dan tinggal 50 Ha," ujarnya mengingat-ingat.
Kemudian, sekitar dua tahun kemudian, ada penanaman kembali lahan yang dilakukan oleh petani setempat bersama pemerintah. Hingga kemudian diperkirakan kini ada 250 Ha lahan kopi se-Kabupaten Sleman.
Baca Juga:Terus Turun Drastis, Produksi Garam Rakyat Terganggu Perubahan Iklim
"Luasan tersebut katakan se-Kabupaten Sleman, karena kita bicaranya lereng Merapi di Kabupaten Sleman. Ada Cangkringan, Pakem, Turi," ungkapnya.