SuaraJogja.id - Penetapan upah minimum provinsi (UMP) DIY 2023 terus menjadi sorotan. Salah satunya dari serikat buruh di Yogyakarta, terlebih dengan sejumlah riset yang telah dilakukan untuk itu.
Anggota Dewan Pengupahan perwakilan buruh DIY, Jatmiko menuturkan pihaknya telah menggelar sejumlah rapat koordinasi terkait penetapan upah tersebut.
Para buruh di DIY, kata dia, telah sepakat untuk tidak lagi memakai Peraturan Pemerintah (PP) nomor 36 Tahun 2021 tentang Pengupahan. Termasuk dalam menentukan nominal upah pada tahun 2023.
Hal itu bukan tanpa alasan, sebab Jatmiko menyebut aturan itu sudah tidak realistis. Mengingat data yang digunakan dari aturan tersebut adalah data inflasi survei dari Badan Pusat Statistik (BPS).
Baca Juga:Ada Dugaan Mafia Tanah, LBH PW Anshor DIY Buka Posko Pengaduan
Pihaknya kemudian membandingkan jika penentuan nominal upah di DIY menggunakan Peraturan Menteri Tenaga Kerja (Permenaker) Nomor 13/2012 tentang Komponen dan Pelaksanaan Tahapan Pencapaian KHL. Jika aturan itu yang digunakan maka nilai kebutuhan hidup layak (KHL) di Yogyakarta menyentuh angka Rp4 juta.
"Kami jelas menolak itu (PP 36/2021) untuk penentuan upah. Kalau berdasarkan Peremenaker Nomor 18 Tahun 2020, nilai KHL di Jogja mencapai Rp3 juta rupiah. Jadi ada perbedaan komponen lama dan baru," kata Jatmiko, dikonfirmasi Minggu (30/10/2022).
Dalam hal ini, pihaknya juga telah melakukan riset dengan sejumlah serikat pekerja yang ada di DIY. Dari riset itu ditemukan beberapa fakta, misalnya saja kenaikan harga bahan bakar minyak (BBM) yang dinilai cukup banyak berdampak ke masyarakat.
"Jadi riset bersama DPD KSPSI dan beberapa curhatan teman-teman di lapangan baru menanyakan ke pedagang terkait harga, mereka (pedagang) bilang harganya semua naik," ucapnya.
Jatmiko turut menyoroti Undang-undang Cipta Kerja atau Omnibus Law yang semakin menggeser aturan survei lapangan. Bahkan dapat dibilang aturan itu turut memangkas fungsi dewan pengupahan.
Baca Juga:Prakiraan Cuaca di Jogja 29 Oktober 2022, Sebagian DIY Berawan
"Pasca disahkannya UU Cipta Kerja, bagi kami dewan pengupahan nasional dan provinsi kehilangan fungsinya. Akhirnya dewan pengupahan hanya menjadi pengamat dalam mengusulkan UMP ke Gubernur, karena datanya dari BPS, bukan survei KHL," paparnya.
Sekjen DPD Konfederasi Serikat Pekerja Seluruh Indonesia Daerah Istimewa Yogyakarta (KSPSI DIY), Irsyad Ade Irawan menambahkan bahwa penetapan upah merupakan langkah krusial untuk mendukung program pengentasan kemiskinan.
"Meskipun pekerja atau buruh di DIY sudah berkerja dan memiliki produktivitas yang tinggi, namun pekerja buruh tetap saja diupah murah," ujar Irsyad.
"Upah yang didapatkan setiap bulan selalu lebih kecil dari biaya untuk mencukupi Kebutuhan Hidup Layak (KHL)," imbuhnya.
Maka dari itu tuntutan buruh sejauh ini dengan menaikan upah 2023 pada angka Rp3,7 hingga Rp 4,2 juta.