SuaraJogja.id - Keberadaan para prajurit merupakan bagian tak terpisahkan dari Keraton Yogyakarta. Meski kini tak lagi berperang laiknya pada masa penjajahan kolonial, eksistensi mereka tetap dihadirkan sebagai bagian menjaga tradisi dan kebudayaan.
Namun seiring gempuran modernisasi, regenerasi prajurit bukan hal yang mudah. Karenanya keprajuritan Kraton yang sudah mengakar budaya harus terus dilestarikan ke depan agar tak punah.
"Prajurit Kraton tugas paling pokok melanjutkan dan melestarikan Kraton Yogyakarta. Mereka tidak berperang namun untuk acara budaya, keagamaan seperti Grebeg yang dilaksanakan Kraton. Acara adat lain misalnya perkawinan agung ada perintah Sultan untuk melaksanakan. Namun Prajurit Kraton tetap melaksanakan tugas, menjaga keamanan dan ketertiban di Kraton juga membantu abdi dalem," papar adik Raja Keraton Yogyakarta, GBPH Yudhaningrat dalam dialog budaya 'Menggaungkan Kembali Yang Punah' di Dalem Yudhaningrat, Sabtu (04/04/2023).
Menurut Gusti Yudha-sapaan Yudhaningrat, selama ini baik abdi dalem maupun bregada keprajuritan memiliki cara unik untuk meregenerasi diri. Diantaranya dengan menurunkan perannya pada keluarga dari orang tua ke anak.
Baca Juga:Kantor Imigrasi Yogyakarta Layani Paspor Sehari Jadi, Segini Tarifnya
Gusti Yudha yang lama menjadi Manggala Yudha atau kepala prajurit Keraton Yogyakarta ini mencontohkan, abdi dalem juru kunci Merapi biasanya diturunkan dari orang tua ke anak. Kebanyakan keturunannya yang meneruskan karena sudah memahami secara detail tugasnya.
Namun ada pula abdi dalem atau prajurit yang muncul dari keinginan pribadi orang per orang. Tak melulu orang Jawa, ada prajurit dan abdi dalem yang berasal dari luar Jawa.
"Ada yang sebagian keturunan, tapi banyak yang memang ingin ikut. Ada yang dari Papua juga, boleh untuk menjadi abdi dalem," jelasnya.
Sementara KRT Jatiningrat mengungkapkan keberadaan prajurit keraton Yogyakarta ada sejak Pangeran Mangkubumi memutuskan untuk pergi dari Kasunanan Surakarta. Saat itu dinarasikan Mangkubumi tersinggung karena Susuhan Pakubuwono II yakni kakaknya menyerahkan Kerajaan Mataram pada Belanda.
Mereka menjadi tentara bagi Keraton hingga 1945. Pada periode 1945 hingga 1970 prajurit Kraton Yogyakarta sempat mengubah bentuk atau dibekukan karena kebijakan Sri Sultan HB IX untuk memastikan kelanjutan keprajuritan. Pasca dibekukan, peran prajurit keraton diubah dari perang menjadi untuk upacara.
Baca Juga:Pasca Kasus Eko Darmanto, Kantor Bea Cukai Yogyakarta Belum Tunjuk Pengganti
"Fungsi perang diubah menjadi upacara yang akhirnya juga mengubah pakaian para prajurit lebih berwarna seperti yang dikenal saat ini," ungkapnya.
Gayatri Wibisono, pendiri Indonesiagaya, menambahkan, pihaknya memiliki perhatian pada kerajinan, alam dan budaya yang menjadi unsur penting di Indonesia. Karenanya pelestarian budaya melalui berbagai cara, termasuk dialog perlu terus dilakukan.
"Salah satunya di Jogja hari ini kami lakukan bincang budaya untuk mendapat wacana informasi budaya khususnya di Jogja. Ketika sesuatu dibicarakan, menarik maka harapannya tidak menjadi punah," imbuhnya.
Kontributor : Putu Ayu Palupi