SuaraJogja.id - Kondisi kekeringan di DIY semakin meluas. Berdasarkan hasil pemantauan curah hujan hingga 20 September 2023, Stasiun Klimatologi BMKG Yogyakarta mencatat, 25 kapanewon di DIY sudah mengalami Status Awas kekeringan atau mengalami hari tanpa hujan lebih dari 61 hari dan prakiraan curah hujan rendah kurang dari 20 mm/dasarian dengan peluang terjadi diatas 70 persen.
Sebut saja Banguntapan, Bantul, Dlingo, Imogiri, Kasihan, Pundong, Sedayu, dan Sewon di Bantul. Di Gunungkidul berada di Gedangsari, Girisubo, Karangmojo, Ngawen, Playen, Ponjong, Tepus dan Wonosari.
Di Sleman, status awas kekeringan terjadi di Berbah, Cangkringan, Depok, Gamping, Kalasan, Ngemplak, Pakem, Sleman dan Turi. Sedangkan di Kulon Progo terjadi di Girimulyo.
Sementara kapanewon di DIY dengan status siaga kekeringan sudah mencapai 24 kawasan. Daerah yang telah mengalami hari tanpa hujan lebih dari 31 hari dan prakiraan curah hujan rendah kurang dari 20 mm/dasarian dengan peluang terjadi diatas 70 persen tersebar di Kabupaten Bantul yang berada di Kapanewon Bambanglipuro, Kretek, Pandak, Piyungan.
Baca Juga:Dilanda Kekeringan, Warga Karawang Beli Air Bersih dengan Harga yang Mahal
Di Gunungkidul, siaga kekeringan terjadi di Nglipar, Paliyan, Panggang, Patuk, Rongkop, Semin, Tanjungsari.
Kabupaten Kulon Progo berada di Galur, Kalibawang, Kokap, Lendah, Nanggulan, Panjatan, Samigaluh, Sentolo, Wates. Di Sleman tersebar di Minggir, Moyudan, Prambanan, dan Seyegan.
"Kondisi kekeringan di gunung kidul dan beberapa daerah kulon progo mulai memprihatinkan saat ini. Banyak dusun dusun terpaksa antri tanki air untuk menunggu dropping ke berbagai wilayah yang membutuhkan. Saya meninjau sendiri di berbagai wilayah seperti gedangsari, pathuk, beberapa tempat di ngawen dan berbagai dusun lain," ujar Wakil Ketua DPRD DIY, Huda Tri Yudiana disela pemantauan kekeringan di Yogyakarta, Minggu (24/09/2023).
Menurut politisi PKS tersebut, dari hasil pengawasan di lapangan, sumber air sangat terbatas dan droping dari tanki air juga harus antri.
Warga pun akhirnya harus membeli air dalam tanki hingga 5000-an liter. Mereka harus merogoh kocek antara Rp 250 hingga Rp 350 ribu untuk beberapa KK demi mendapatkan air bersih.
Baca Juga:Kekeringan Makin Parah, Video Warga Blora Antri di Mata Air Bikin Prihatin
"Belum tentu juga tanki mau mengirimkan ke lokasi lokasi yang tinggi sehingga warga kesulitan. Ngedrop tanki bisa sampai jam 12.00 malam atau jam 01.00 pagi. Kondisi ini sangat memprihatinkan karena warga dapat air bersih antara dua sampai tiga hari sekali, rata rata dari swadaya warga dan bantuan berbagai lembaga," jelasnya.
Huda pun mempertanyakan proyek sumur-sumur bor yang dibuat dari pemerintah. Sejumlah sumur bor tidak bisa digunakan, bahkan rusak.
Padahal biaya pengeboran sumur rata rata membutuhkan biaya sekitar RP 500 juta. Sebelum dilakukan pengeboran pun biasanya menggunakan penelitian dan desain dari pakar.
"Sementara sumur sumur bur bantuan pihak ketiga dan swadaya cukup banyak yang berfungsi padahal biayanya dibawah 100 jutaan," tandasnya
Karenanya Huda meminta Pemda DIY serius menangani masalah kekeringan. Sebab kebanyakan wilayah kekeringan identik dengan wilayah miskin.
Pemerintah mesti memperbaiki metode pemberian bantuan nya karena terlalu mahal dan banyak yang tidak berfungsi. Partisipasi warga pun harus diperhatikan, bisa dengan metode Bantuan Keuangan Khusus (BKK) ke desa atau metode lain yang lebih fleksibel penerapannya.
Pemda diharapkan segera memetakan wilayah kekeringan dengan baik sekaligus roadmap solusinya. Jangan sampai masalah kekeringan dibiarkan bertahun tahun seperti ini tanpa target jelas kapan penyelesaiannya.
"Saya mengajak pemda untuk mengecek langsung berbagai sumur yang rusak maupun tidak operasional agar bisa memperbaiki metode serta menyelesaikan kekeringan dengan baik," imbuhnya.
Kontributor : Putu Ayu Palupi