Kisah Warga Sisi Utara Bukit Batur Agung Gunungkidul, Berteman dengan Maut untuk Sejerigen Air Keruh

Warga tidak langsung menggunakan air yang mereka ambil tersebut dan memilih untuk mengendapkan terlebih dahulu selama 12 jam.

Muhammad Ilham Baktora
Selasa, 10 Oktober 2023 | 20:55 WIB
Kisah Warga Sisi Utara Bukit Batur Agung Gunungkidul, Berteman dengan Maut untuk Sejerigen Air Keruh
Sejumlah perempuan menyusuri lereng gunung Batur Agung, Gunungkidul untuk mencar air di musim kemarau ini. [Kontributor Suarajogja.id/ Julianto]

SuaraJogja.id - Terik matahari masih menyengat ketika sejumlah ibu-ibu keluar dari dalam rumahnya di RT 07 Dusun Ngipik, Kalurahan Tegalrejo, Kapanewon Gedangsari, Gunungkidul. Sembari menggendong jerigen ukuran 10 dan 25 liter mereka kemudian naik ke atas bukit.

Mereka kemudian berjalan sekira 400 meter ke arah puncak dengan menyusuri jalan setapak di punggung perbukitan Batur Agung sisi utara. Bukit dengan elevasi 60 derajat mereka lewati di mana satu sisi jalan setapak tersebut adalah jurang dengan ketinggian puluhan meter.

Mereka berjalan menuju ke atas bukit ke sebuah sumur yang ada di sebuah rumah yang ditinggalkan pemiliknya. Setiba di dekat sumur tua tersebut, mereka satu persatu berusaha menimba air sumur.

Namun tak seperti air sumur di wilayah lain, airnya sudah berwarna putih keruh layaknya susu kental manis yang telah diseduh.

Baca Juga:Samarinda Diselimuti Kabut Asap, Wali Kota Andi Harun: Karena Musim Kemarau

Perlahan-lahan mereka kemudian mengisi jerigen yang dibawanya dari rumah dengan air berwarna keruh tersebut. Setelah penuh, mereka kemudian menggendongnya kembali menggunakan kain di punggung mereka.

Ibu-ibu yang sudah berusia lanjut ini lantas berjalan tertatih membawa air di punggungnya. Jalan mereka cukup pelan karena menjaga keseimbangan agar tidak terpeleset ke dalam jurang. Sekitar 30 menit kemudian mereka tiba di rumah dan langsung menuangkan air ke dalam tempat penampungan.

Warga tidak langsung menggunakan air yang mereka ambil tersebut dan memilih untuk mengendapkan terlebih dahulu selama 12 jam. Baru di lain hari, air tersebut mereka gunakan untuk mandi dan mencuci pakaian termasuk juga untuk dikonsumsi.

Sularmi, salah seorang warga Padukuhan Ngipik tersebut mengakui sejak bulan Agustus lalu, dia bersama 7 kepala keluarga lainnya terpaksa harus menjalani rutinitas tersebut. Sebab, mereka kesulitan mendapatkan air bersih.

"Kalau beli air, tak ada droping yang sampai ke sini. Wong truk tangki Ndak ada yang bisa dan kuat naik ke sini," tutur dia.

Baca Juga:Kemarau Panjang di Kota Depok, Wali Kota: Hujan Buatan Kewenangan Pemerintah Pusat

Sumur tua yang mereka ambil itu sebenanrnya bukan sumur mata air namun hanya sumur penampungan. Dan kini, airnya kian menipis dan warna airnya juga sudah keruh. Namun, warga terpaksa memanfaatkan air sumur berkedalaman 17 meter tersebut karena memang sulit mendapatkan air bersih.

Di bagian bawah dusun mereka, sebenarnya sudah ada sumur bor namun untuk menjangkaunya warga harus berjalan cukup jauh. Dan medan yang harus dilalui jauh lebih sulit ketimbang ke sumur tua tersebut

"Ya mau bagaimana lagi. Harus kami jalani," terang dia.

Jaringan PAM Desa sebenarnya juga sudah masuk ke wilayah mereka. Namun akibat kemarau panjang ini debitnya mengecil dan pompa air tak mampu menghantarkan aliran sampai ke rumah mereka. Sehingga warga terpaksa menggunakan sumur keruh tersebut untuk memenuhi kebutuhan mereka.

Suranto, ketua RT setempat mengakui jika ada 7 KK termasuk dirinya yang menjalani aktivitas seperti ini. Total jumlah jiwanya ada 22 yang menggantungkan hidupnya dari sumur tua dengan air keruh tersebut.

"Kebiasaan ini terjadi setiap tahun. Setiap dusun memang sudah dibuat sumur, tapi kami tetap kesulitan," jelas pria dengan panggilan Surip ini.

BERITA TERKAIT

REKOMENDASI

Terkini

Tampilkan lebih banyak