Tidak hanya itu, beberapa pasal juga mengisyaratkan tidak adanya pembatasan pada kepemilikan LPS (Lembaga Penyiaran Swasta). Hal ini membuat dominas kepemilikan pada pihak-pihak tertentu semakin tinggi dan membuat industri penyiaran sangat homogen dan terpusat.
Menurut Senja, proses revisi undang-undang ini seharusnya menerapkan prinsip kehati-hatian. Sebab mengatur tentang penggunaan frekuensi penyiaran yang merupakan milik publik dan jumlahnya terbatas.
Hal yang meresahkan lainnya adalah revisi ini juga mencakup regulasi terhadap konten digital yang bukan frekuensi publik. Berbagai pengaturan ini berpotensi mengundang intervensi pemerintah pada ruang-ruang yang seharusnya menjadi tempat bagi diskusi publik.
"Ini kan bicara kepentingan banyak orang sehingga ya harus bersusah-susah diproses revisi itu bukan kemudian dibikin untuk direvisi atau direview di Mahkamah Konstitusi, itu kan langgam yang sering kita dengar selama ini dan kita lihat selama ini kan," tegasnya.
Baca Juga:Divonis Hukuman Mati, Dua Terdakwa Pembunuhan dan Mutilasi Mahasiswa UMY Ajukan Banding
"Jadi ya prosesnya memang harus panjang melelahkan terbuka, demokratis, karena ini ngomongin legislasi. Jadi memang tidak boleh serampangan dan tidak boleh terburu-buru," sambungnya.