Benarkah Kurikulum Merdeka Biang Keladi Peneliti Hijrah ke Luar Negeri?

Apalagi ada review tahunan hingga lima tahunan yang dilakukan.

Muhammad Ilham Baktora | Hiskia Andika Weadcaksana
Senin, 29 Juli 2024 | 21:31 WIB
Benarkah Kurikulum Merdeka Biang Keladi Peneliti Hijrah ke Luar Negeri?
Ilustrasi kuliah (Pixabay.com)

SuaraJogja.id - Mantan Menteri Riset dan Teknologi (Menristek), Bambang Brodjonegoro menyoroti peneliti Indonesia yang banyak hijrah ke luar negeri. Kualitas serta kapabilitas para peneliti itu pun tak luput dari hal yang disorot.

Lantas bagaimana dengan Kurikulum Merdeka yang telah diterapkan selama ini?. Apakah merdeka belajar itu sudah cukup untuk link and match antara dunia pendidikan dan kerja?.

Pakar Kebijakan Pendidikan sekaligus Dosen Universitas Negeri Yogyakarta (UNY) Arif Rohman menilai kurikulum yang diterapkan di perguruan tinggi itu sudah cukup memberi ruang bagi para calon peneliti. Terlebih untuk melakukan eksplorasi kemampuan dan memperoleh pengalaman belajar yang tak melulu di kampus.

"Ini sudah dengan ruang yang leluasa yang bagus. Cuma karena sistemnya belum mapan, bagaimana mekanismenya, bagaimana konversi dari pengalaman belajar di perusahaan atau di tempat lain di dunia usia lalu dikonversi ke dalam SKS di mata kuliah ini yang masih belum mapan," ujar Arif saat dihubungi SuaraJogja.id, Senin (29/7/2024).

Kondisi itu disebabkan akibat tidak adanya kendali dari kampus sendiri yang menjangkau sampai ke luar. Kampus tidak bisa secara leluasa dan tidak menjangkau ke tempat dimana mahasiswanya memperoleh pendidikan di luar kampus.

Baca Juga:Kurikulum Merdeka Hapuskan Jurusan SMA: Solusi atau Bencana Baru?

"Sehingga banyak terjadi suatu anomali atau distorsi mahasiswa ke sana. Ya bisa jadi tidak sesuai ketentuan yang ditetapkan oleh kampus tetapi dikonversi ke kampus dengan SKS tertentu dengan nilai tertentu. Ini yang sampai hari ini masih belum settle belum mapan," tuturnya.

Perguruan tinggi, kata Arif perlu memapankan mekanisme tersebut. Termasuk bagaimana kerja sama antara pihak-pihak eksternal dan internal kampus sendiri.

Tidak lupa dengan bagaimana model pendampingan kepada para mahasiswanya. Pembatasan tempat magang yang sudah teruji itu pun rasanya perlu dilakukan

"Seperti apa yang sudah teruji, yang sudah ada kerja samanya lalu diskripsi pekerjaan di sana apa saja dan kontraknya seperti apa saja. Lalu pendampingan di lokasi seperti apa, ini yang perlu ditata tidak lalu betul-betul merdeka atau liar," ucapnya.

Link and Match Belum Maksimal

Baca Juga:Soal Penjurusan SMA Dihapuskan, Pakar UNY: Pendidikan Diobok-obok Jadi Kelinci Percobaan

Menurut Arif, sebenarnya sudah ada mekanisme research studi. Mekanisme tersebut dilakukan bersama kurikulum dan stakholder terkait tentang kebutuhan masyarakat.

Apalagi ada review tahunan hingga lima tahunan yang dilakukan. Tutjuannya untuk melihat sejauh mana kurikulum itu aplikatif dan adaptif terhadap kebutuhan masyarakat di dunia kerja.

"Cuma memangmasalahnya pasca lulus itu, tentu yang tidak kalah penting bagaimana sesungguhnya proses mendidik untuk menjadi peneliti itu, bagaimana proses-proses pengalaman yang dia terima, termasuk magang dan seterusnya. Itu juga penting," kata Arif.

Ketika hal itu diselenggarakan dengan baik maka, Arif bilang hasilnya akan cukup baik. Namun memang ketika kemudian peneliti itu lebih memilih ke luar negeri maka itu menjadi fenomena yang merugikan.

Padahal Indonesia memerlukan banyak peneliti untuk bekerja di berbagai sektor. Namun memang kesadaran perusahaan-perusahaan untuk membentuk iklim riset itu belum terlalu baik bahkan masih minim.

"Padahal semua unit usaha itu harus berbasis research, termasuk UMKM. Produk apa yang disenangi pembeli, lalu kemasan, dan seterusnya itu kan berbasis research," tuturnya.

"Sehingga inovasi produk bisnis itu betul-betul bisa dipertanggungjawabkan secara ilmiah tapi kan belum banyak lembaga-lembaga swasta termasuk UMKM yang mampu melakukan riset dan membayar periset sedemikian rupa," sambungnya.

BERITA TERKAIT

REKOMENDASI

News

Terkini