SuaraJogja.id - Lantunan gending Jawa terdengar lembut dari salah satu sudut Jogja Nasional Museum (JNM). Sorot lampu tertuju pada satu panggung bernuansa putih.
Tampak di sana menggambarkan sebuah ruang lebih tepatnya kamar. Lengkap dengan tempat tidur yang dipercaya itu milik seorang raja.
Dinding-dinding kamar itu dibuat transparan seperti kelambu yang membalut tempat tidur sang raja. Satu per satu orang masuk menempatkan diri.
Di sisi kiri ada tiga orang yang sibuk dengan alat musik tradisional Jawa, di tengah tampak seorang perempuan bersiap membacakan sebuah kisah, lalu di kanan ada seorang sinden. Pertunjukan pun dimulai.
Baca Juga:Jokowi dan Ganjar Pranowo Sama-sama Berada di Jogja, Ada Apa?
![Pertunjukan audio visual interpretasi Didik Nini Thowok atas karya Serat Centhini terkhusu bagian 'Empat Puluh Malam dan Satunya Hujan' di ARTJOG, Jogja Nasional Museum (JNM), Kamis (22/8/2024) malam. [Suarajogja.id/Hiskia]](https://media.suara.com/pictures/653x366/2024/08/23/29284-tarian-serat-centhini.jpg)
Sajian kesenian itu merupakan sebuah pertunjukkan hasil interpretasi Didik Nini Thowok atas karya Serat Centhini terkhusu bagian 'Empat Puluh Malam dan Satunya Hujan.' Interpretasi tersebut ditampilkan dengan sebuah karya audio visual yang mengesankan.
Didik Nini Thowok tidak sendirian di atas panggung. Dia bersama penyair asal Perancis, Elizabeth D. Inandiak yang bertindak sebagai narator dalam pentas tersebut.
Karya tersebut memadukan antara pertunjukan wayang golek dan lantunan tembang dari beberapa pupuh di dalam kisah tersebut dalam seni tari yang ekspresif. Penonton diajak untuk melihat kembali kisah Amongraga dan Tambangraras di sepanjang malam-malam itu secara interpretatif dan kontemplatif.
"Make up putih artinya kosong tidak ada arti dan tidak bisa dimaknai dengan gender tertentu sesuai dengan representasi sifat kerendahan hati tokoh Centhini," kata Didik menjelaskan make up putih penuh yang menghiasi wajahnya usai pertunjukan, Kamis (22/8/2024) malam.
Didik bercerita sedikit tentang proses karya tersebut. Hal ini berawal dari ajakan Elizabeth kepada Didik untuk menjadi aktor dalam pertunjukan tersebut.
Baca Juga:Pertemuan Seni di Explanatory ARTJOG MMXXII, Libatkan Enam Seniman Pertunjukan dan Enam Karya Rupa
"Elizabeth melamar saya untuk terlibat dalam proses centini, karena ia menilai [saya] bisa mewakili sosok Centhini," ungkapnya.
Elizabet sendiri mengungkapkan ada proses panjang dalam pembuatan karya ini. Mengingat material yang diambil dari serat dan dituangkan dalam pertunjukan audio visual.
Tantangannya tak berhenti di situ, mengingat serat Centhini yang masih berbahasa Jawa. Apalagi Elizabeth yang merupakan orang Perancis agak sulit untuk mengartikan.
Belum lagi, kata Elizabeth Serat Centhini merupakan karya cukup tebal dengan 1.200 halaman. Dalam prosesnya, dia semakin mengagumi sosok Centhini.
"Ya untuk mengartikan bahasa Jawa di sini [serat Centhini] yang susah. Sehingga saya harus bekerjasama dengan ahli bahasa Jawa. Namun kemudian saat menggali lebih dalam ternyata Centhini adalah tokoh utama suluk adiluhung Jawa," ungkap Elizabeth.
Pertunjukan ini sebagai bagian dari festival, pameran dan pasar seni rupa kontemporer tahunan yang digelar ARTJOG. Sekaligus sebagai komitmen ARTJOG untuk menjadi ruang pertemuan antara seni, dalam hal ini seni pertunjukan dengan masyarakat.
Pertunjukan yang dimulai pada pukul 19.30 WIB itu selesai sekitar pukul 20.20 WIB. Masyarakat yang hadir pun tampak antusias menikmati pertunjukan tersebut. Pertujukan ini turut melibatkan Anon Suneko sebagai komposer dan Sarah Diorita sebagai performer.