Indonesia Darurat Hoaks Krisis Iklim: Akankah AI Jadi Solusi?

AI, dikatakan Novi, mampu menyaring dan menyanggah artikel atau konten yang diidentifikasi sebagai hoaks.

Muhammad Ilham Baktora | Hiskia Andika Weadcaksana
Kamis, 19 September 2024 | 14:32 WIB
Indonesia Darurat Hoaks Krisis Iklim: Akankah AI Jadi Solusi?
Ilustrasi AI Generatif. [Unsplash/Solen Feyissa]

SuaraJogja.id - Dosen Ilmu Komunikasi, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (Fisipol) UGM, Novi Kurnia menyoroti masih rendahnya perhatian masyarakat Indonesia terkait isu global yakni krisis iklim. Masifnya misinformasi berupa konten hoaks menjadi salah satu penyebab.

Diungkapkan Novi, berdasarkan riset dari Center for Digital Society (CfDS) UGM mendapatkan data bahwa 24,2 persen dari responden percaya bahwa krisis iklim itu hanya isu buatan elit global.

"Mereka ini disebut climate change denier atau kelompok yang menolak mempercayai krisis iklim," kata Novi dalam keterangan tertulis yang diterima SuaraJogja.id, Kamis (19/9/2024).

Keresahan ini disampaikan Novi saat menjadi pembicara di event UNESCO Digital Learning Week 2024: Steering Technology for Education di Paris, Perancis beberapa waktu lalu. Di acara yang dihadiri sebanyak 300-400 pemangku kebijakan dan pakar dari 50 negara di dunia itu, Novi mengangkat isu maraknya misinformasi dan hoaks terkait krisis iklim.

Baca Juga:Revolusi Energi: UGM Kembangkan Hidrogen untuk Gantikan Bahan Bakar Fosil

Novi mengatakan perhatian terhadap isu yang belum meningkat, serta munculnya kelompok penentang ini dikhawatirkan akan menghambat kebijakan pemerintah untuk menghadapi krisis iklim. Maka dari itu, strategi untuk memberantas misinformasi krisis iklim perlu dilakukan sedini mungkin.

Kembali merujuk riset Center for Digital Society (CfDS), tercatat ada 98 persen misinformasi ditemukan berasal dari media sosial. Jumlah ini terdiri dari bermacam-macam bentuk misinformasi, seperti konten hoaks, parodi, kesalahan konteks, sampai konten palsu.

Kemudian ditemukan 57,7 persen merupakan false connection atau kesalahan informasi terkait krisis iklim. Meskipun memang sebagian besar responden mampu memilah misinformasi krisis iklim.

Namun hanya 20 persen yang mampu menyangkal kembali segala bentuk misinformasi. Disebutkan Novi, Indonesia masih masuk dalam golongan dengan climate change denier yang tinggi.

"Indonesia termasuk tinggi populasi yang tergolong climate change denier ini, karena mereka juga yang menyebarkan misinformasi. Mumpung pertumbuhannya masih belum banyak, justru harus segera dilawan," ucapnya.

Baca Juga:Jokowi Canangkan Wanagama Nusantara, Dukung IKN Jadi Smart Forest City

Atas kondisi tersebut, Novi turut membawa isu lain yang juga masih marak diperbincangkan yakni Artificial Intelligence (AI). Terkhusus AI yang digunakan dalam melawan misinformasi krisis iklim.

BERITA TERKAIT

REKOMENDASI

News

Terkini

Tampilkan lebih banyak