SuaraJogja.id - Kerusakan alam akibat pembalakan liar maupun pengembangan industri sawit kian masif. Tak hanya di Sumatera, makin minimnya hutan tropis yang menjaga paru-paru bahkan sudah merambah ke Papua.
Gelisah dengan rusaknya bumi, sekelompok ekspeditor muda melakukan Ekspedisi Arah Singgah ke delapan wilayah di Indonesia sejak 2022 silam. Mulai dari Sumatera Utara, Riau, Kalimantan Timur, Jawa Tengah, Bali, Nusa Tenggara Timur, hingga Papua Barat Daya dan Papua.
Perjalanan menemukan sisi lain kehidupan masyarakat adat dan berbagai praktik ekonomi restoratif yang mereka lakukan pun mereka tangkap dalam beragam karya fotografi. Mereka pun membagikan pengalaman masyarakat adat dalam melindungi tanah mereka dari kerusakan yang lebih parah dalam pameran foto "Fambi Mait Teme" atau Hutan adalah Ibu dalam bahasa Tehit di LIP Yogyakarta, 11-20 Oktober 2024.
Sebut saja kisa Lukita Sembiring yang awalnya menjadi pembalak liar yang menebang pohon-pohon berusia ratusan tahun di kawasan ekosistem Leuser berubah menjadi salah satu pelestari gajah di Tangkahan, Sumatera Utara. Kisah hidup Lukita membuktikan pembangunan ekonomi dan pelestarian lingkungan bukan lagi dua hal yang harus dipertentangkan.
Baca Juga:Dorong Inovasi dan Pengembangan Karya, Kominfo Resmikan Gedung Transformasi Digital di STMM Jogja
"Dulu, penghasilan dari pembalakan sangat menggiurkan. Pohon-pohon tua sudah ada, tinggal ditebang, dan banyak yang bersedia membeli. Namun Lukita yang awalnya menjadi pembalak dan berubah jadi pelestari ternyata tetap bisa mendapatkan penghidupan melalui sektor pariwisata dan ekonomi restoratif," ujar kurator pameran, Ayos Purwoaji, Jumat (11/10/2024) malam.
Tak hanya Lukita, kisah perempuan dari Suku Moi di Sorong, Papua Barat, Yunita Ulim yang menjadi perajin garam nipah mengajarkan alam memberikan banyak hal pada manusia dalam beragam cara. Dengan memanfaatkan pelepah pohon nipah yang tumbuh di rawa-rawa, Yunita menghasilkan produk garam hitam yang unik tanpa merusak ekosistem.
"Usaha seperti ini tidak akan berjalan jika hutan nipah yang mereka miliki musnah. Ini membuktikan kelestarian lingkungan dan keuntungan ekonomi bisa berjalan beriringan," tandasnya.
Sementara Amai Hendrawan, Program Officer TelusuRI mengungkapkan, berkaca dari masyarakat adat, kerusakan masif hutan Indonesia mestinya bisa ditangani. Sebab banyak masyarakat adat yang mempraktikkan peralihan lahan tanpa harus merusak tanah dan hutan.
"Bahkan mereka justru bisa memanen hasil hutan non-kayu seperti petai, nipah, rotan, dan madu dari hutan," jelasnya.
Baca Juga:Gempur Miras Digital, Pemda DIY Perketat Pengawasan Penjualan Online
Fambi Mait Teme, lanjut Amai hadir di tengah keresahan akan penyempitan ruang hidup masyarakat dan keanekaragaman hayati akibat masifnya industri ekstraktif seperti perkebunan kelapa sawit, pembalakan liar, hingga pertambangan.
Namun alih-alih hanya mengkritik, ekspeditor memperlihatkan kehidupan masyarakat adat yang menawarkan solusi konkret melalui kisah-kisah sukses ekonomi restoratif.
"Melestarikan alam berarti menjaga budaya dan tradisi. Dan yang terpenting, hal ini bisa dilakukan sambil tetap mendapatkan manfaat ekonomi," imbuhnya.
Kontributor : Putu Ayu Palupi