SuaraJogja.id - Wacana tentang pembentukan Zaken Kabinet dalam pemerintahan Prabowo Subianto-Gibran Rakabuming Raka masih terus bergulir. Terlebih jelang pelantikan Presiden dan Wakil Presiden terpilih pada 20 Oktober 2024 mendatang.
Istilah Zaken Kabinet sendiri tidak asing di Indonesia. Secara historis Zaken Kabinet pertama kali diterapkan dalam Kabinet Djuanda pada periode demokrasi liberal Indonesia.
Dosen Ilmu Politik dan Pemerintahan Fisipol UGM, Mada Sukmajati menuturkan definisi normatif Zaken Kabinet merupakan kabinet pemerintahan yang terdiri dari kombinasi teknokrat, profesional dan politisi. Namun dia menilai akan ada perbedaan konteks untuk penerapan Zaken Kabinet pada saat ini.
Mada menerangkan pada era Kabinet Djuanda, Indonesia menganut sistem parlementer. Sementara saat ini menggunakan sistem presidensial.
Baca Juga:Berseloroh Soal Kabinet Prabowo-Gibran, Gus Yahya: Minimal Separuhnya Kader NU
Kendati demikian, menurut Mada tantangan dan dilema yang harus dihadapi tetap tak akan jauh berbeda. Terutama terkait akomodasi kekuatan politik dan kebutuhan untuk segera menghasilkan kebijakan yang efektif.
"Baik di masa Djuanda maupun saat ini, ada kebutuhan untuk menjaga stabilitas politik. Sehingga mengakomodasi kekuatan politik adalah suatu keharusan," ungkap Mada, Sabtu (12/10/2024).
Selain itu, ditambahkan Mada, ada pula satu tantangan besar dalam pembentukan Zaken Kabinet di era sekarang. Tentangan itu adalah menjaga keseimbangan antara stabilitas politik dan efektivitas pemerintahan.
Dua hal ini menurutnya sebagai dilema kelembagaan dalam penerapan Zaken Kabinet di Indonesia. Kombinasi sistem presidensial dengan multipartai sering kali menciptakan tantangan bagi presiden.
Apakah akan memilih antara mengakomodasi semua partai pendukung atau membatasi kabinet hanya pada teknokrat dan profesional.
Baca Juga:Gandeng UGM, Pemkab Sleman Segera Perbaiki 13 Jembatan Rusak
"Jika prioritasnya adalah stabilitas politik, maka mengakomodasi sebanyak mungkin partai politik bisa menjadi pilihan. Meski ini bisa memperlambat realisasi program-program pemerintah," ujarnya.
Di sisi lain, pembentukan kabinet yang lebih banyak diisi oleh teknokrat dan profesional dapat mempercepat implementasi kebijakan. Walaupun muncul resiko untuk melemahkan dukungan politik.
Mada pun menyoroti insentif oposisi dalam sistem politik Indonesia yang sangat minim. Kondisi ini menyebabkan partai-partai lebih memilih untuk berada dalam pemerintahan daripada di luar pemerintahan.
Ada kecenderungan bahwa partai-partai politik untuk selalu mencari posisi dalam kabinet. Meskipun hal itu dapat mempengaruhi efektivitas pemerintahan.
"Di Indonesia, menjadi oposisi tidak memberikan akses yang memadai terhadap sumber daya negara, sementara partai-partai di dalam kabinet dapat memanfaatkan posisi mereka untuk memperkuat basis politik di daerah," ungkapnya.
Namun demikian, Mada menjelaskan pola Zaken Kabinet sebenarnya sudah mulai terbentuk sejak era Presiden SBY dan dilanjutkan di era Presiden Jokowi. Terutama pada posisi strategis seperti Menteri Keuangan dan Menteri Luar Negeri.
"Posisi-posisi strategis seperti Menteri Keuangan dan Menteri Luar Negeri biasanya diisi oleh teknokrat atau profesional, karena objektivitas dalam mengambil kebijakan publik sangat diutamakan di posisi ini," sebut dia.
Dengan mengacu pada konteks kelembagaan di Indonesia saat ini, Mada menyatakan bahwa model Zaken Kabinet masih relevan dan bisa menjadi opsi dalam pemerintahan ke depan. Terutama untuk menjaga keseimbangan antara politik dan profesionalisme dalam pemerintahan.