OPINI : Menjadi Gagah, Bangga, dan Terbuka sebagai Bangsa

Nasionalisme: Antara Kebanggaan dan Strategi Global Nasionalisme sering dipandang sebagai kebanggaan terhadap budaya dan identitas lokal, tetapi tanpa strategi yang matang

Galih Priatmojo
Senin, 23 Desember 2024 | 20:42 WIB
OPINI : Menjadi Gagah, Bangga, dan Terbuka sebagai Bangsa
Antonius Harya Febru Widodo, Kader Gerindra Masa Depan Angkatan 15, Magister Ilmu Filsafat UGM Yogyakarta

Namun, kritik seperti ini sering kali berbasis pada pola pikir argumentum ad populum—yakni mengandalkan sentimen nasionalisme sempit yang mengasumsikan bahwa semua yang lokal lebih baik, hanya karena diterima oleh mayoritas pendukung lokal. Misalnya, ada narasi bahwa
"produk asing tidak mencerminkan Indonesia," seolah-olah keberhasilan lokal hanya bisa dicapai dengan menutup diri dari dunia luar. Ini adalah ilusi kolektif yang sering kali tidak relevan dalam konteks persaingan global. Dalam kenyataannya, pasar internasional tidak
mengenal produk lokal kita tanpa jembatan global yang relevan.

Nasionalisme tertutup ini mirip dengan sebuah restoran lokal yang memaksa hanya menyajikan makanan tradisional tanpa inovasi atau kemasan menarik, sambil terus berteriak, "Ini makanan lokal, makan saja karena ini milik kita!" Padahal, tanpa branding yang menarik, pasar global tidak akan melirik. Sama halnya, tanpa kolaborasi global, budaya Indonesia mungkin tetap kaya, tetapi hanya menjadi kebanggaan internal yang kurang dikenal di luar negeri.

Sebaliknya, nasionalisme terbuka adalah tentang strategi. Misalnya, bayangkan jika Indonesia berhasil meyakinkan Ubisoft untuk membuat Assassin’s Creed: Nusantara.

Assassin’s Creed adalah seri gim terkenal buatan Ubisoft yang dikenal karena menggabungkan sejarah dunia nyata dengan fiksi dalam petualangan epik. Setiap gim membawa pemain ke lokasi bersejarah, seperti Mesir, Italia Renaisans, atau Jepang feodal, sambil menyelami intrik dan konflik antara dua faksi utama, Assassin dan Templar.

Baca Juga:Soroti Persoalan Sampah di Alkid, Mas Marrel: Kota Yogyakarta Butuh Pemimpin yang Komitmen Selesaikan

Membayangkan seri ini mengangkat sejarah Indonesia, seperti era Majapahit atau Perang Diponegoro, bukan hanya akan memperkenalkan budaya Indonesia secara mendalam kepada dunia, tetapi juga membuat sejarah lokal menjadi menarik
bagi generasi muda global.

Menolak produk asing hanya karena mereka berasal dari luar negeri, atau bahkan mengerdilkan merek besar seperti Pokemon dengan menyebut mereka "UMKM" karena sentimen anti-asing, adalah pola pikir yang dangkal. Tindakan ini mencerminkan bentuk nasionalisme yang tidak berdasar pada fakta, tetapi pada kebanggaan semu yang gagal melihat gambaran besar.

Nasionalisme bukan berarti menutup diri dari dunia luar, melainkan menggunakan kekuatan lokal secara strategis untuk bersaing di pasar global.

Kolaborasi seperti antara Garuda Indonesia dan Pokémon, atau ide seperti Assassin’s Creed: Nusantara, menunjukkan bahwa nasionalisme bukan soal menolak budaya asing, melainkan soal bagaimana menggunakan elemen global untuk memperkuat budaya lokal. Dalam dunia
yang semakin terhubung, keberhasilan identitas nasional diukur dari bagaimana ia mampu beradaptasi dan bersinar di panggung global, bukan dari isolasi semata.

Nasionalisme, seperti elang muda dalam cerita burung hantu, harus diarahkan dengan bijak. Ia bukan sekadar kebanggaan tanpa arah, tetapi kekuatan yang mampu membawa kita terbang
lebih tinggi di panggung global.

Baca Juga:Dari Nasirun hingga Seniman Cilik, Pameran "Indonesia 100%" UNU Yogyakarta Suguhkan Perspektif Berbeda tentang Nasionalisme

Nasionalisme sejati bukan tentang menolak pengaruh asing atau memaksakan simbolisme lokal secara kaku, melainkan tentang bagaimana menggunakan segala peluang untuk memperkuat identitas dan posisi kita.

BERITA TERKAIT

REKOMENDASI

News

Terkini

Tampilkan lebih banyak