Di tengah Hutan Raya, Pemilu lima tahunan sedang berlangsung. Pemilihan ini digunakan untuk memilih Dewan Hutan, yang akan bekerja sama dengan Raja Singa memimpin hutan.
Namun, sejak sistem pemilu berubah menjadi sistem terbuka, suasana di hutan menjadi kacau.
Hari Pendaftaran dan Kekacauan Sistem Terbuka
Setiap hewan yang ingin memilih harus menghadapi tumpukan kertas suara. Ada ratusan kandidat, dari si Kancil yang cerdik hingga si Rubah yang licik, semua bersaing memperebutkan suara. Namun, karena terlalu banyak kandidat, banyak hewan bingung siapa yang sebenarnya
layak dipilih.
"Aku tidak kenal siapa-siapa di sini," keluh si Landak. "Siapa mereka, dan apa yang sudah mereka lakukan untuk hutan?"
Ketika hari pemilihan tiba, kertas suara begitu panjang hingga beberapa hewan bahkan tak sanggup membawanya. Si Tupai hampir terjatuh dari pohon saat mencoba mencoblos.
Akibatnya, banyak suara dianggap tidak sah karena kesalahan teknis.
Golput Merajalela
Melihat kekacauan ini, sebagian besar hewan mulai berpikir untuk tidak memilih sama sekali.
“Kenapa harus repot? Lagipula mereka hanya muncul saat pemilu,” ujar si Rusa. Sikap golput menyebar dengan cepat di kalangan hewan, terutama mereka yang tinggal jauh dari pusat hutan.
Baca Juga:Survei Kajian Perilaku Pemilih dalam Pemilu 2024 Soroti Partisipasi Generasi Z di DIY
Burung Hantu Berbicara
Burung Hantu, yang terkenal bijak, akhirnya mengumpulkan semua hewan pada malam hari. Ia berbicara dengan tenang tetapi tegas.
“Sahabat-sahabatku, sistem pemilu kita sekarang memang terbuka, tapi lihatlah akibatnya. Terlalu banyak kandidat yang tidak kita kenal, terlalu banyak kertas suara yang membingungkan, dan terlalu banyak janji tanpa bukti. Padahal, kita bisa memilih sistem yang lebih sederhana dan bermanfaat untuk semua.”
Hewan-hewan mendengarkan dengan saksama.
“Apa maksudmu, Burung Hantu?” tanya si
Gajah.
“Sistem pemilu tertutup berbasis partai bisa menjadi solusi,” jawab Burung Hantu.