SuaraJogja.id - Pengembangan Museum Soekarno, naskah akademik, buku dan monumen yang diusulkan DPRD ke Pemda DIY beberapa tahun terakhir terancam tak bisa terealisasi pasca kebijakan efisiensi anggaran yang digulirkan Presiden Prabowo Subianto. Bilamana tidak, APBD DIY 2025 yang diterima Pemda dari Dana Keistimewaan (danais) maupun APBD reguler dipangkas besar-besaran oleh pemerintah pusat hingga mencapai Rp 260 Miliar.
Padahal sebelumnya Danais 2025 yang awalnya sebesar Rp 1,4 Triliun sudah dipangkas Rp 200 miliar. Pemangkasan anggaran ini dilakukan salah satunya untuk merealisasikan program kampanye Prabowo-Gibran dalam pilpres lalu, Makan Bergizi Gratis (MBG).
"Makan gratis boleh saja, tetapi jiwa juga butuh makanan. Pikiran kita memerlukan asupan berupa ilmu pengetahuan, nilai-nilai, dan wawasan kebangsaan," papar Ketua Komisi A DPRD DIY, Eko Suwanto usai Napak Tilas Soekarno dan Penguatan Nilai Kebangsaan di Masjid Sunan Gunung Djati Cirebon, Senin (17/2/2025).
Menurut Eko, di tengah isu tentang refocusing program Pemda DIY dan efisiensi anggaran, pendidikan sejarah tidak boleh ditinggalkan. Pemerintah, termasuk di daerah mestinya tidak hanya fokus perut kenyang bagi generasi muda melalui program MBG. Otak dan jiwa mereka pun perlu dikenyangkan dengan pembelajaran sejarah melalui pengembangan museum Soekarno, monumen, penyusunan naskah akademik, buku, dan lain-lain.
Hal itu bertujuan agar generasi muda kita tidak melupakan sejarah sebagaimana pesan Bung Karno untuk tidak sekali-kali melupakan sejarah. Sebab jika semuanya seimbang, maka pembangunan karakter dan budi pekerti manusia, yang diikuti dengan peningkatan kemampuan kognitif, keterampilan, dan kecerdasan dapat berjalan dengan baik.
"Jangan sampai tubuh mendapat makanan, tetapi hati, pikiran, dan jiwa justru kekurangan asupan. Ini bisa berbahaya. Jadi, keseimbangan sangat penting. Makanan untuk tubuh harus cukup, begitu pula makanan untuk pikiran dan jiwa," tandasnya.
Eko mencontohkan, Cirebon yang memiliki jejak sejarah Presiden Soekarno yang sering salat Tahajud di Masjid Sunan Gunung Djati yang berada di kota itu mengabadikan momen sejarah tersebut sebagai salah satu obyek wisata berharga mereka. Bahkan warga kota tersebut sangat bangga nama Masjid Sunan Gunung Djati diberikan langsung oleh Soekarno pasca diwakafkan pemilik lahan, Siti Garmini Soroji Binti Muchalar Surjaatmadja pada 1960.
Sementara di Yogyakarta berserakan tetenger atau penanda keberadaan Soekarno sebagai proklamator. Kebersamaannya bersama Raja Keraton Yogyakarta, Sri Sultan HB IX dalam memperjuangkan kemerdekaan Indonesia meninggalkan banyak jejak sejarah berharga yang mungkin tidak dimiliki daerah lain.
"Karenanya saya kira pemerintah daerah DIY, serta pemerintah daerah lainnya, perlu mempertimbangkan agar aspek sejarah yang mencakup museum dan berbagai hal lainnya tidak ikut terkena refocusing anggaran," ungkapnya.
Baca Juga:Jatah Ekonomi Kreatif Turun Drastis, Sineas Jogja Tolak Dampak Efisiensi Anggaran Lewat Karya Baru
Kepala Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Kota Cirebon, Agus Sukmanjaya mengungkapkan, Pemkot Cirebon sebenarnya ingin mencontoh Pemda DIY dalam mengelola sektor kebudayaan dan pariwisata yang tidak lepas dari nilai-nilai sejarah. Salah satunya penetapan Sumbu Filosofi
Yang ditetapkan UNESCO sebagai Warisan Tak Benda beberapa tahun lalu.
"Kita ingin seperti Jogja yang mampu mengembangkan sumbu filosofi sebagai bagian dari bagian dari pariwisata tanpa meninggalkan sejarah [yang melekat]," katanya.
Karenanya meski sektor pariwisata dan kebudayaan Cirebon juga terdampak efisiensi anggaran dari pemerintah pusat, Pemkot telah menyusun strategi untuk mengatasinya. Salah satu strategi yang akan dilakukan melalui peningkatan skala event.
Jika sebelumnya event yang digelar di kota tersebut hanya berskala lokal, maka kedepan akan dikembangkan minimal ke tingkat provinsi, nasional, atau bahkan internasional. Tahun ini, Pemkot akan menyelenggarakan lima festival, baik yang berbasis budaya maupun ekonomi kreatif.
Selain itu Pemkot membuka ruang-ruang publik baru yang dapat dijadikan destinasi wisata. Meskipun luasnya tidak terlalu besar, ruang-ruang publik ini memiliki potensi untuk menarik wisatawan karena berbasis edukasi lingkungan, heritage, serta berbagai aktivitas lainnya.
"Untuk kebudayaan seperti pemeliharaan museum dan tempat-tempat budaya pun tidak ada pengurangan anggaran. Justru saat kami melakukan ekspos, kami menegaskan bahwa perlu ada penguatan anggaran di sektor ini. Sebab, sektor ini dapat menjadi salah satu cara untuk menyeimbangkan defisit anggaran yang timbul akibat efisiensi perjalanan dinas," imbuhnya.
Kontributor : Putu Ayu Palupi