RUU TNI Intervensi Ranah Sipil? Pakar Hukum UMY Ingatkan Ancaman Kemunduran Demokrasi

RUU TNI justru berpotensi untuk memunculkan lagi dwifungsi ABRI yang sudah dikoreksi saat reformasi.

Muhammad Ilham Baktora
Rabu, 19 Maret 2025 | 10:47 WIB
RUU TNI Intervensi Ranah Sipil? Pakar Hukum UMY Ingatkan Ancaman Kemunduran Demokrasi
Pakar Hukum UMY, Nanik Prasetyoningsih menyampaikan komentar terkait revisi RUU TNI di Yogyakarta. [Kontributor/Putu]

SuaraJogja.id - Revisi Undang-Undang Tentara Nasional Indonesia (RUU TNI) yang tengah dibahas di Komisi I DPR RI menjadi sorotan banyak pihak.

Pakar Hukum Universitas Muhammadiyah Yogyakarta (UMY), Nanik Prasetyoningsih menyatakan, revisi tersebut dinilai janggal karena akan mengembalikan dwifungsi ABRI laiknya pada masa Orde Baru (orba).

"Substansi dari RUU TNI yang memberikan perluasan jabatan sipil untuk anggota militer aktif menjadikan TNI dapat melakukan intervensi dalam bidang yang kurang sesuai dengan fungsi dari TNI," papapr Nanik di Yogyakarta, dikutip Rabu (19/3/2025).

Menurut Ketua Program Studi Hukum Program Magister UMY tersebut, perluasan jabatan sipil TNI bisa berpotensi untuk menimbulkan tumpang tindih kewenangan dengan lembaga terkait di bidang tersebut. Ketidaksesuaian adanya dwifungsi militer tersebut bisa mengancam supremasi sipil dari masyarakat.

Baca Juga:UGM Tolak Revisi UU TNI, Proses Tertutup di Hotel Mewah Abaikan Suara Rakyat

Sebab kewenangan TNI dalam RUU tersebut masih akan ditambah dengan perluasan tugas operasi militer selain perang. Sebut saja di bidang penanganan narkotika, siber dan informatika, serta konflik WNI di luar negeri.

"Itu semua tercantum dalam RUU TNI dan perlu diatur dengan tegas batas dari kewenangan di setiap bidang tersebut, karena selama ini sudah ada lembaga yang berwenang seperti BNN, BSSN dan Kementerian Luar Negeri," ujarnya.

Civitas akademika Universitas Gadjah Mada (UGM) menggelar aksi 'Tolak Revisi UU TNI' di Balairung UGM, Selasa (18/3/2025). Ratusan massa dari dosen, pekerja hingga mahasiswa turut hadir dalam aksi tersebut.
Civitas akademika Universitas Gadjah Mada (UGM) menggelar aksi 'Tolak Revisi UU TNI' di Balairung UGM, Selasa (18/3/2025). Ratusan massa dari dosen, pekerja hingga mahasiswa turut hadir dalam aksi tersebut. [HIskia/Suarajogja.id]

Nanik mengingatkan, apapun agenda yang direncanakan dalam RUU TNI, mestinya harus tetap menjaga keberlangsungan supremasi sipil dalam sistem demokrasi.

Ini sekaligus untuk menyelaraskan adanya batasan yang jelas dan tegas terhadap keterlibatan TNI dalam jabatan sipil.

Secara formil, pembahasan RUU TNI saat ini dinilai kontroversial karena tidak melibatkannya meaningful participation dari masyarakat.

Baca Juga:Tips Hindari Impulsif Buying Usai Terima THR untuk Mahasiswa, Dosen UGM Sarankan Begini

Apalagi selama pembahasan dilakukan secara tertutup dan memunculkan kekhawatiran pada supremasi sipil.

Sedangkan secara objektif, tugas dari militer atau TNI adalah pertahanan dan keamanan nasional dan tidak akan terlibat dalam struktur pemerintahan sipil.

Namun dengan adanya RUU TNI, Nanik khawatir tugas tersebut akan bergeser menjadi subjektif.

"Indonesia adalah negara demokrasi sehingga dalam setiap pengambilan keputusan di tingkat pemerintahan harus mendapat persetujuan dari masyarakat," ujarnya.

Nanik menambahkan, hak masyarakat harus tetap dipenuhi oleh pemerintah agar tidak menghidupkan kembali sistem dwifungsi militer seperti pada masa Orde Baru. Karenanya hubungan antara militer dengan sipil harus dipisah dengan tegas.

"Walaupun dengan dalih pengawasan akan lebih melekat, masuknya TNI ke dalam ranah tersebut tetap tidak benar," ungkapnya.

Untuk itu kejanggalan dalam proses meloloskan RUU TNI, lanjut Nanik perlu diperbaiki di beberapa aspek.

Salah satunya adalah pembahasan yang harus diulang dan melibatkan lebih banyak masyarakat karena keterlibatan masyarakat dapat memenuhi syarat formil pembentukan peraturan perundang-undangan.

Peninjauan ulang dalam substansi dari RUU TNI dan penempatan secara proporsional atas supremasi sipil di Indonesia pun juga diperlukan.

Sebab sipil dan TNI memiliki tempat dan fungsinya masing-masing sehingga tidak perlu dicampuradukkan.

Terlebih dwifungsi militer di Indonesia sudah dikoreksi pada saat reformasi.

"Mengapa seakan berniat dihidupkan kembali? Artinya akan terjadi kemunduran dalam demokrasi Indonesia. Terlepas dari segala proses politik yang terjadi, dalam hukum sudah jelas diatur melalui UUD 1945 terkait tugas dari TNI, di mana harus ada batas yang tegas antara TNI dengan ranah sipil sehingga sesuai dengan ketentuan konstitusi," imbuhnya.

Kontributor : Putu Ayu Palupi

BERITA TERKAIT

REKOMENDASI

News

Terkini