Hasilnya sejak dibuka belum genap dua bulan lalu itu, Dika selalu mendapat pengunjung tiap hari. Tak selalu membludak memang, tapi konsistensi itu sudah terlihat.
Warungnya kini tak pernah sepi. Selepas Lebaran, pengunjung bisa tembus 100 mangkok per hari. Ia bahkan mulai mempekerjakan satu karyawan tetap, dan satu tambahan saat warung terlampau ramai.
"Saya buang jauh-jauh gengsi, malu, pokoknya mental kuat, mentalnya bakoh, konsistensi dan telaten," tegasnya.
Benar saja, saat sedang asyik mengobrol, dua pemuda lain datang dan langsung memesan dua mangkuk bakso dan dua gelas es teh manis.
Baca Juga:Nasib Penjurusan SMA Terancam? Jogja Krisis Guru BK, Dampaknya Luas
Di tengah kepulan bakso dan celoteh pelanggan, Dika mengaku masih menyimpan mimpi lama: menjadi dosen. Ia akan mencoba lagi saat CPNS dibuka lagi dalam waktu dekat.
Namun sebelum itu, dia ingin memastikan bahwa warung baksonya sudah bisa berdiri mandiri, menciptakan lapangan kerja, dan menjadi wujud konkret dari ilmu yang pernah ia perjuangkan selama ini.
"Cita-cita saya tetap ingin menjadi dosen saya akan daftar lagi. Kalau masuk swasta sambil nunggu CPNS yang saya bawa cuma uang dan pengalaman," ucapnya.
"Jadi berpikir apa saya rintis usaha saja agar besok kalau ada panggilan dosen, misal keterima dan dapat tempat, ini kan masih ada 'Bang Uyo' yang bisa membantu saya menghidupkan, bantu orang lain juga buka lapangan pekerjaan, kan ada 'Bang Uyo' yang saya tinggalkan yang bisa terus berkembang tumbuh," tambahnya.
Pesan Dika kepada para sarjana maupun magister yang baru saja menyelesaikan studinya pun sederhana.
Baca Juga:DIY Darurat Uang Palsu? 889 Ribu Lembar Ditemukan dalam 3 Bulan Pertama 2025
"Buat teman-teman yang masih berjuang atau bingung, kejar passionmu, apa yang kamu senangi itu tekuni, telateni, konsisten dan jangan malu terus belajar lagi, upgrade diri dan bermanfaatlah untuk makhluk sekitar bukan cuma manusia," ujar dia.
Di bawah spanduk bertuliskan 'Bakso Bang Uyo' nama yang ia pilih karena mudah diingat dan punya nilai marketing tersendiri, tersimpan kisah anak muda yang tidak mudah menyerah.
Memilih untuk berjalan meski jalan tak selalu lapang, percaya bahwa tak ada ilmu yang sia-sia, bahkan jika akhirnya ia berujung di semangkuk bakso sederhana, yang penuh rasa dan cinta.
Di ujung percakapan pun, datang lagi rombongan keluarga yang penasaran mencoba bakso racikannya.
Tangannya kembali meracik kuah, pikirannya mengingat tiap formula ekonomi peternakan, dan hatinya tak henti bersyukur meski langkahnya sudah jauh dari ruang kelas.
Dika bukan hanya pedagang bakso. Ia adalah penenun mimpi yang menolak malu, yang memilih untuk berdiri tegak di antara warisan keluarga dan ilmu akademik, di sebuah lapak kecil di sisi barat Monjali, tempat di mana harapan mendidih bersama kuah panas yang setia mengepul.