Warga Lempuyangan Dapat 'Bebungah', Sri Sultan Desak KAI Ikut Berikan Ganti Rugi yang Layak

Menurut Sultan, PT KAI mestinya tidak hanya memberikan ganti rugi pembongkaran bangunan yang ditempati warga.

Muhammad Ilham Baktora
Senin, 26 Mei 2025 | 15:58 WIB
Warga Lempuyangan Dapat 'Bebungah', Sri Sultan Desak KAI Ikut Berikan Ganti Rugi yang Layak
Kawasan Stasiun Lempuyangan yang akan ditata dan menggusur sejumlah bangunan milik warga, Senin (26/5/2025). [Kontributor Suarajogja/Putu Ayu Palupi]

SuaraJogja.id - Raja Keraton Yogyakarta sekaligus Gubernur DIY, Sri Sultan HB X akhirnya buka suara terkait polemik penggusuran warga Tegal Lempuyangan, Bausasran, Danurejan, Kota Yogyakarta.

Sultan pun meminta PT KAI memberikan ganti rugi yang memadai bagi 14 warga yang terdampak penataan kawasan Stasiun Lempuyangan.

"Apa yang mereka bangun, yang tinggal di situ perlu juga diberi ganti rugi. Kemaren kan ga dihitung," papar Sultan di Kompleks Kepatihan Yogyakarta, Senin (26/5/2025).

Menurut Sultan, PT KAI mestinya tidak hanya memberikan ganti rugi pembongkaran bangunan yang ditempati warga di kawasan Stasiun Lempuyangan.

Baca Juga:Drama Lempuyangan Memanas, PT KAI Minta Warga Kosongkan Rumah dalam Waktu Tujuh Hari

Namun BUMN tersebut juga diminta mengganti tambahan bangunan yang selama ini ditempati warga.

Sebab warga membangun tambahan bangunan di kawasan Stasiun Lempuyangan secara mandiri.

Pembangunan tersebut tentunya membutuhkan biaya yang cukup besar.

"Jadi mereka membangun kamar mandi, kamar tambahan, kemaren belum dihitung. Hanya pesangon untuk pindah. Mereka minta itu dihitung," kata dia.

Tak hanya PT KAI, Sultan memastikan Keraton pun memberikan bebungah bagi warga Lempuyangan.

Baca Juga:Titik Terang Sengketa Lempuyangan: Keraton Turun Tangan, Warga Dapat Ganti Untung

Nominal yang diberikan Keraton mencapai Rp750 juta yang dibagi sama rata kepada 14 warga sebagai bentuk empati Raja pada kawulanya.

Namun Sultan menegaskan jika bebungah bukan bagian dari kompensasi. Sebab karena kompensasi merupakan tanggung jawab PT KAI.

"[Soal bebungah] ya ndak ada hubungannya, [kompensasi] itu urusannya PT KAI itu," tandasnya.

Hal senada disampaikan Sekda DIY, Beny Suharsono yang menyatakan jika Bebungah berbeda dengan kompensasi.

Bebungah dari Keraton merupakan dhawuh atau perintah dari Sultan untuk memberikan uang kepada warga dengan alasan kemanusiaan.

"Iya [bebungah berbeda dengan kompensasi PT KAI], kan yang akan memanfaatkan kembali PT KAI, makanya Keraton mendorong supaya diperhatikan betul yang sudah menempati di situ," ujar dia.

Beny menyebutkan, Pemda DIY memberi dukungan kepada warga untuk mendorong PT KAI untuk melihat kembali apa yang belum disepakati, termasuk masalah kompensasi bangunan tambahan yang dipermasalahkan warga.

PT KAI sebelumnya akan memberikan ganti rugi ini di luar kompensasi bongkar bangunan senilai Rp250.000 per meter.

"Munculnya bangunan tambahan, merasa membangun ini, membangun itu, belum termasuk bagian yang didialogkan. Itu dukungan konkret dari Pemda DIY. Agar PT KAI bisa segera memanfaatkan pengembangan wilayah untuk pelayanan PT KAI lebih luas, masyarakat juga terlindungi karena sudah membangun [dapat Ganti rugi]," ungkapnya.

Sebelumnya PT KAI berencana mengembangkan Stasiun Lempuyangan dengan menggunakan lahan di sekitarnya yang selama ini ditempati warga.

Permukiman rumah dinas milik PT KAI tersebut dibangun di atas tanah Sultan Ground

Sosialisasi dilakukan beberapa kali, termasuk mengenai kompensasi yang akan diterima warga Tegal Lempuyangan, Namun sosialisasi tersebut selalu ditolak warga karena tidak sesuai harapan.

PT KAI pun akhirnya diberi waktu sampai Selasa (27/5/2025) untuk mengosongkan bangunan. Tenggat waktu pengosongan bangunan ini tertuang dalam surat No. KA.203/V/3/DO.6-2025, yang dikirimkan pada Rabu (20/5/2025).

Seperti diketahui, penataan Stasiun Lempuyangan di Kota Jogja berdampak terhadap 14 rumah warga di sekitar pemberhentian kereta api tersebut.

Rencana penataan lokasi ini mendapat penolakan dari warga. Mereka mengatakan bahwa sejak lama tanah yang dimiliki adalah turun temurun sejak HB IX memimpin Jogja.

Penolakan itu ditunjukkan dengan sejumlah spanduk, termasuk menolak tim pengukur tanah dari pihak BPN yang datang ke lokasi.

Meski secara hukum para warga akan kalah dengan rencana penataan ini, penolakan masih terus dilakukan termasuk akan bertahan di lokasi yang mereka tinggali sekarang.

Kontributor : Putu Ayu Palupi

BERITA TERKAIT

REKOMENDASI

News

Terkini