SuaraJogja.id - Bupati Sleman, Harda Kiswaya, mengakui bahwa putusan Mahkamah Konstitusi (MK) tentang negara harus menggratiskan biaya SD-SMP di sekolah negeri maupun swasta sulit untuk direalisasikan.
Hal ini mengingat dari keterbatasan anggaran yang ada di tingkat daerah.
"Mudah-mudahan ada evaluasi dari MK itu karena sebetulnya pemerintah enggak mampu, kalau [sekolah] swasta-negeri ditanggung pemerintah," kata Harda kepada wartawan, Kamis (12/6/2025).
Diungkapkan Harda, bahwa saat ini Pendapatan Asli Daerah (PAD) Kabupaten Sleman saat ini hanya sekitar Rp1 triliun. Sementara kebutuhan pembiayaan di sektor pendidikan sangat besar, belum ditambah kepentingan lainnya.
Baca Juga:Sistem Semi Militer, 26 Calon Siswa di Jogja Mengundurkan Diri dari Sekolah Rakyat
Dalam situasi seperti ini, Harda bilang, menggratiskan seluruh biaya pendidikan, termasuk di sekolah swasta, akan sangat membebani keuangan daerah.
"Nggak mampu [kalau digratiskan semua]," ucapnya.
Meski demikian, Harda menilai sistem yang berjalan saat ini yakni pemerintah daerah berbagi peran dengan sekolah swasta sudah cukup baik.
Lebih dari itu, Pemkab Sleman pun tak akan tinggal diam terkait persoalan pendidikan yang ada.
Harda menegaskan bahwa pihaknya siap selalu untuk mengambil langkah tegas guna membantu anak-anak tidak mampu. Misalnya dalam kasus anak tidak mampu yang kesulitan mengambil ijazah karena tunggakan biaya.
Baca Juga:Sekolah Rakyat Gandeng TNI/Polri, Disiplin Ala Militer untuk Anak Miskin?
"Makanya berbagi dengan swasta, sebenarnya menurut saya sudah amat bagus itu. Kalau permasalahan hanya yang tidak mampu yang di swasta itu tidak bisa mengambil ijazahnya, saya sudah komitmen dan sudah dilaksanakan," tegasnya.
Bahkan untuk kasus-kasus seperti itu, Pemkab sudah turun tangan, bahkan menggalang bantuan dari pihak ketiga seperti CSR.
Menurut Harda, semangat dari putusan MK memang patut diapresiasi, tetapi ia berharap ada evaluasi dan pemetaan masalah yang lebih spesifik.
Jika memang terkait persoalan individu seperti ijazah yang tertahan, dia menegaskan bahwa Pemkab masih bisa mengatasi hal itu.
Namun Pemkab tak siap jika harus menanggung semua biaya operasional pendidikan swasta.
"Maunya undang-undang itu bagus, tapi tolong ya diidentifikasi permasalahannya apa. Kalau hanya masalah ambil ijazah, pemda bisa ambil alih itu," ucapnya.
Adanya sekola rakyat, belum sepenuhnya menjadi solusi. Pasalnya sekolah yang disiapkan itu memang untuk warga miskin. Namun tetap harus diseleksi.
Berbicara soal rakyat di DIY, perkembangan sudah cukup baik.
Meski masih banyak polemik yang dialami di daerah-daerah, di DIY sendiri sudah ada 275 siswa yang lolos seleksi.
Meski pendaftar cukup banyak, menurut Kepala Dinas Sosial DIY, Endang Patmintarsih, tercatat sebanyak 26 pendaftar mengundurkan diri dari keikutsertaan di SR. Mereka merasa tidak siap mengikuti sistem SR.
Tidak seperti sekolah biasa, SR dirancang dengan sistem boarding school berdisiplin tinggi.
Bahkan mengadopsi model pendidikan semi-militer guna membentuk karakter dan kemandirian siswa dari kelompok rentan.
"Modelnya boarding school. Artinya anak-anak tinggal penuh di asrama, mengikuti pola kegiatan harian yang terstruktur dan teratur. Ini butuh kesiapan mental dari anak dan dukungan dari orang tua. Tidak bisa dipaksakan," ungkapnya.
Endang menyebutkan, SR menyasar anak-anak usia SMA/SMK dari keluarga tidak mampu yang masuk dalam kategori desil 1 Data Terpadu Kesejahteraan Sosial Nasional (DTKS).
Artinya, para siswa yang lolos seleksi adalah anak-anak dari keluarga termiskin di wilayah DIY.
Banyak calon siswa tereliminasi dalam program SR. Sebagian calon siswa tidak termasuk dalam kategori desil 1, dan ada pula yang memilih mundur karena tidak siap dengan sistem pendidikan berasrama yang disiplin dan penuh tantangan.
"Mereka ini anak-anak dari keluarga yang benar-benar miskin ekstrem. Kami tidak hanya memberikan akses pendidikan gratis, tapi juga membentuk karakter mereka agar siap mandiri dan keluar dari lingkaran kemiskinan," paparnya.