Garis imajiner itu bukan sekadar titik-titik di peta. Tapi menyangkut nilai historis, filosofis, hingga spiritualitas kota. Kalau mau diangkat, harus total, bukan hanya ditata fisiknya saja.
"Kajian perlu dilakukan, tidak berhenti di ruang seminar, tapi harus turun dalam bentuk tata ruang yang terintegrasi, rencana jangka panjang, hingga edukasi publik," ungkapnya.
Deni Dwi Cahyono, Kaprodi S2 Pariwisata Stipram menambahkan, ada kebingungan arah branding kepariwisataan Yogyakarta.
Menurutnya, jika Bali sudah kuat dengan wisata spiritual dan medis, maka kota ini harus segera menetapkan arah yang lebih spesifik.
Baca Juga:Ditertibkan demi Sumbu Filosofi, Kridosono Kini Bebas Reklame Raksasa
"Jogja ini mau dibawa ke arah mana? Ada yang bilang garis imajiner, tapi belum ada penegasan sebenarnya yang termasuk garis itu apa saja. Bahkan makam Imogiri juga sempat dikaji sebagai bagian dari garis itu," paparnya.
Stipram sendiri, ikut terlibat dalam berbagai kajian kebijakan Pemda DIY, termasuk survei belanja wisatawan, persepsi pengunjung, hingga kajian penguatan identitas budaya.
"Tapi kembali lagi, yang paling krusial itu di implementasi. Apakah kebijakan itu dijalankan sesuai semangatnya atau tidak," imbuhnya.
Kontributor : Putu Ayu Palupi
Baca Juga:Baru 14 TKM Beroperasi di Malioboro, Hasto Desak OPD Tambah Hingga Titik Nol Km