Selain kebijakan batik, Hasto juga menggarisbawahi pentingnya ideologi konsumsi lokal bagi warga.
Ia mendorong masyarakat untuk mengutamakan membeli produk dari diri sendiri, tetangga, komunitas, dan UMKM setempat. Produk yang dijual UMKM sebaiknya minim kandungan impor agar konsumsi benar-benar menguatkan ekonomi lokal.
Contoh sederhana dengan memilih air minum produksi Jogja.
Keuntungan dari penjualan produk lokal, menurutnya, bisa dialokasikan kembali untuk program rakyat, seperti pemasangan sambungan rumah tangga gratis.
Baca Juga:Ribuan Seniman "Serbu" Malioboro, Nusantara Menari Hipnotis Yogyakarta
"Kalau kita pandai mencari rezeki dari sumber-sumber pendapatan kreatif, kita akan sukses," ujarnya.
Sementara Kepala Dinas Perindustrian, Koperasi, dan UKM Kota Yogyakarta, Tri Karyadi Riyanto Raharjo, mengungkapkan program pemberdayaan UMKM di Kota Yogyakarta juga berjalan melalui Nglarisi yang merupakan bagian dari inisiatif Gandeng Gendong.
"Program ini memanfaatkan aplikasi Jogja Smart Service untuk memfasilitasi pemesanan makan-minum rapat OPD dari UMKM lokal," jelasnya.
Sejak diluncurkan pada 2018, Nglarisi telah melibatkan 320 kelompok dengan 3.340 anggota.
Dari jumlah itu, sebanya 685 kelompok di antaranya adalah pemegang Kartu Menuju Sejahtera (KMS).
Baca Juga:Mulai Agustus: Yogyakarta Kerahkan Alat Berat, Normalisasi Sungai Dimulai
Hingga Juli 2025, transaksi tercatat Rp879 juta atau 1,7 persen dari total anggaran makan-minum Pemkot sebesar Rp 51 miliar.
Dinas tersebut juga mengembangkan Home Business Camp untuk wirausaha muda, Inkubasi Senior Karang Mitra Usaha, workshop Ecoprint dan Siboli, hingga kemitraan pengolahan sampah melalui program “Mas Jos” (Jogja Olah Sampah).
"Seluruh kegiatan ini diharapkan mampu memperkuat daya saing UMKM, menciptakan lapangan kerja, dan menurunkan angka kemiskinan," imbuhnya.
Kontributor : Putu Ayu Palupi