Mereka berbagi kisah, saling mengisi kepingan ingatan, dan dari sanalah lahir Paguyuban Trah Pangeran Diponegoro (Patra Padi).
Kini, Patra Padi menjadi wadah untuk menjaga silaturahmi antar keturunan sekaligus menyebarkan nilai-nilai perjuangan sang pahlawan.
Berbagai acara pun rutin digelar, mulai dari haul di Tegalrejo, ziarah ke makam leluhur di Imogiri, hingga peringatan milad yang dirayakan dengan pertunjukan wayang kulit bertema Diponegoro, yang menampilkan 59 tokoh dan sudah dipentaskan sebanyak 17 kali.
Perjuangan yang Harus Tetap Membara
Baca Juga:Jogja Marketing Festival 2025: Wadah Sinergi Budaya, Teknologi, Inovasi Penguatan Pemasaran Daerah
Di mata Rahadi, Pangeran Diponegoro adalah teladan paripurna yang sulit dicari tandingannya.
Ia mencontohkan keteguhan sang pangeran dalam melawan segala bentuk kebijakan yang menekan kesejahteraan rakyat, yang menjadi pemicu utama Perang Jawa.
Ia menguraikan tiga pemicu utama perang dahsyat itu: intervensi Belanda dalam politik internal keraton, masuknya budaya Barat yang dianggap bertentangan dengan ajaran Islam dan budaya luhur Jawa, serta penerapan pajak yang mencekik leher rakyat.
Perlawanan Diponegoro inilah yang sering disebut sebagai 'penendang bola salju' menuju kemerdekaan Indonesia.
Kerugian masif yang diderita Belanda memantik gelombang kesadaran rakyat untuk melawan, hingga melahirkan berbagai gerakan perlawanan di seluruh nusantara.
Baca Juga:Potret Siswa Al Azhar Jogja Viral, Netizen: 'Sekolah Sambil Healing, Biayanya DP Rumah KPR'
Oleh karena itu, banyak nilai perjuangan Diponegoro yang masih sangat relevan untuk diterapkan di zaman sekarang.
"Beliau itu antara pikiran, ucapan, dan tindakan sama. Tidak ada bedanya sama sekali. Itu yang sekarang sudah langka," ujar Rahadi.
Menurutnya, meski perjuangan Diponegoro saat itu berbasis pada penegakan nilai-nilai Islam di Kasultanan Ngayogyakarta, esensi perjuangannya dapat diadaptasi dalam konteks kebangsaan saat ini.
"Kalau sekarang kita Bhinneka Tunggal Ika ya. Dulu itu kan Islam. Ya beliau mau menegakkan ajaran agama Islam di Keraton Ngayogyakarta Hadiningrat," tandasnya.
"Nah, kalau sekarang ya kita harus sesuai dengan tujuan negara kita apa? Ya Garuda Pancasila. Pangeran Diponegoro itu kalau dibawa kesini [sekarang] ya harus Sila 1, 2, 3, 4, 5 ya harus benar-benar diaplikasikan. Nggak ada tebang pilih, adil, makmur. Ujungnya untuk kemakmuran, tidak untuk kelompok segolongan," tambahnya.
Jejak Darah Perang Jawa dalam Napas Kemerdekaan