Lubang Menganga di Sleman, Karst Gunungkidul Terancam: Yogyakarta Kalah Lawan Tambang Ilegal?

Tambang ilegal marak di DIY, merusak lingkungan dan memicu konflik. Hanya separuh dari 200 lebih titik tambang berizin.

Muhammad Ilham Baktora
Senin, 25 Agustus 2025 | 15:15 WIB
Lubang Menganga di Sleman, Karst Gunungkidul Terancam: Yogyakarta Kalah Lawan Tambang Ilegal?
Ilustrasi Pertambangan Ilegal (pexels.com/Tom Fisk)

SuaraJogja.id - Aktivitas tambang ilegal di Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) semakin sulit dibendung.

Di Sleman, Gunungkidul, Bantul, hingga Kulon Progo, tambang pasir dan batu yang beroperasi tanpa izin resmi menjamur, menggerus ekosistem dan memicu keresahan warga.

Data Dinas ESDM DIY mencatat, hingga pertengahan 2025 terdapat lebih dari 200 titik penambangan di Yogyakarta. Namun hanya separuhnya yang mengantongi izin resmi dan sisanya beroperasi secara ilegal.

"Banyak penambangan ilegal yang tidak berizin dan jelas berpotensi merusak lingkungan. Kalau lingkungan rusak, maka dampaknya juga akan menjalar ke lingkungan sosial. Masyarakat sekitar ikut menanggung akibatnya," papar Wakil Rektor Bidang Riset, Inovasi dan Hilirisasi UMY, Dyah Mutiarin dikutip Senin (25/8/2025).

Baca Juga:Masa Depan Generasi Jawa Terancam? PKS DIY Siap Perangi Miras Online dan Judi Online

Kerusakan lingkungan di bekas tambang sudah cukup banyak di Yogyakarta.

Contohnya di Sleman, titik bekas tambang di kabupaten tersebut berubah menjadi lubang menganga yang membahayakan.

Sedangkan di Gunungkidul, penambangan batu kapur liar membuat kawasan karst semakin terancam. Di Kulon Progo, tambang pasir di alur Sungai Progo kerap menimbulkan banjir lokal karena kontur tanah terganggu.

Menurut Dyah, maraknya tambang ilegal menunjukkan adanya celah regulasi dan lemahnya komitmen pemerintah daerah dalam mengedepankan prinsip keberlanjutan.

Paradigma eksploitasi sumber daya alam, kata dia, harus segera ditinggalkan.

Baca Juga:Waspada Macet Total! Ring Road Utara Jogja Bakal Ditutup Malam Hari, Ini Skenario Pengalihan Arusnya

"Pemda perlu memperkuat pengawasan dan menegakkan aturan. Paradigma keberlanjutan harus menjadi arus utama. Kalau tidak, generasi mendatang yang akan menerima dampak paling besar," ujar dia.

Tak hanya kerusakan lingkungan, konflik horizontal juga sering muncul.

Persoalan lahan antara penambang dan warga, serta bentrokan akibat rebutan lokasi tambang, harus jadi perhatian.

"Dampak sosial ini yang jarang diperhitungkan. Padahal, ketika lingkungan rusak, stabilitas sosial pun terganggu," ungkapnya.

Dyah menambahkan, keberlanjutan bukan hanya soal menjaga ekosistem. Namun juga menciptakan keseimbangan sosial dan ekonomi.

Ia menyebut praktik pertambangan yang baik sebenarnya bisa dilakukan jika dikelola dengan prinsip sustainable mining.

BERITA TERKAIT

REKOMENDASI

Terkini

Tampilkan lebih banyak

Ingin dapat update berita terbaru langsung di browser Anda?