- Masjid Nurul Ashri di Sleman menjadi angin segar bagi para petani
- Tahun ini pihaknya memborong semangka-semangaka milik petani
- Gerakan boron hasil bumi tersebut menjadi inspirasi bagi komunitas lain
SuaraJogja.id - Masjid Nurul Ashri di Deresan, Kalurahan Caturtunggal, Depok, Sleman, kembali menginisiasi gerakan sosial dengan memborong hasil panen petani.
Setelah sebelumnya dengan memborong sayur dari petani Magelang dan singkong dari petani Gunungkidul, kali ini, mereka membeli sekitar lima ton lebih semangka dari Desa Bubutan, Kecamatan Purwodadi, Purworejo, yang terancam gagal panen akibat cuaca tak menentu.
Perwakilan Divisi Program Masjid Nurul Ashri, Sunyoto, mengatakan kondisi panen semangka tahun ini jauh lebih berat dibanding tahun lalu.
Jika tahun lalu masalahnya ada pada harga yang jatuh karena melimpahnya stok, tahun ini sebagian besar tanaman mati sebelum berbuah.
Baca Juga:Irigasi Ditutup, Petani Sleman Gigit Jari? Solusi Sumur dan Embung Disiapkan
"Kalau untuk yang kasus yang sekarang ini adalah ini terancam gagal panen seperti itu," kata Sunyoto dikutip Kamis (25/9/2025).
Diungkapkan Sunyoto, pada musim panen kali ini hanya sekitar 30 persen semangka yang berhasil dipanen.
Itu pun dengan buah yang tergolong berukuran kecil sehingga ditawar murah di pasaran.
"Satu lahan itu ada yang ditawar Rp750.000 seperti itu. Kalau di normalnya dari keterangannya bisa sampai kisaran dapat Rp6-7 jutaan gitu," ucapnya.
Situasi ini membuat petani merugi besar. Sunyoto mengungkap, beberapa petani bahkan sempat menyampaikan keresahan sejak awal menanam.
Baca Juga:83 Pejabat Dirotasi Bupati, Harda Kiswaya Akui Tak Segan Ganti yang Dinilai Tak Mampu
"Ya betul, karena dulu itu di awal itu sudah ada ini mungkin kekhawatiran gitu ya, mereka mau nanem tapi nanti siapa yang beli," imbuhnya.
Untuk mengurangi beban para petani, Masjid Nurul Ashri pun membuka layanan jastip (jasa titip) bagi jamaah dan masyarakat.
Responnya cukup positif, tercatat ada 800 partisipan dalam pembelian semangka kali ini.
"Iya 800 [pemesan]. Itu juga nanti konsepnya seperti yang kemarin, ada yang disedekahkan lagi lewat masjid, ada yang diambil gitu," tuturnya.
Harga yang dibayarkan masjid juga jauh lebih baik dibanding tawaran tengkulak.
"Kemarin kita belinya per kilo itu Rp3.750. Kalau mereka jual di tengkulak gitu nggak sampai segitu. Kalau dulu itu mereka ada yang dibeli kiloan itu cuma dibeli Rp2.000 atau Rp1.500," ujarnya.
Gerakan ini ternyata kemudian memantik pihak lain untuk melakukan hal serupa.
Termasuk dari salah satu masjid yang ada di Wonosobo.
Selain masjid, lembaga pendidikan juga menunjukkan ketertarikan.
"Kalau yang kemarin datang ke kami itu dari UPN, dari Fakultas Pertanian, yang itu juga pengen mengaplikasikan sistem yang kami gunakan di masjid, sistem kayak jastip tadi," terangnya.
Menurut Sunyoto, semangat gerakan ini justru akan semakin besar bila bisa direplikasi oleh banyak pihak.
Tak terkhusus pada masjid saja, melainkan semua latar belakang agama dan golongan dapat membantu.
"Kami malah senang ketika bisa mereplikasi ke teman-teman yang lain, baik instansi ataupun rumah ibadah lain tidak harus masjid, apakah itu juga kalau ada gereja atau lain-lain itu monggo saja gitu, itu persilakan," pungkasnya.