Srikandi Everest Telah Berpulang, Clara Sumarwati Wafat Usai Berjuang Melawan Sakit

Profil Clara Sumarwati, pendaki wanita pertama Indonesia penakluk Everest yang meninggal dunia. Mengenang kembali jejak prestasi, kontroversi, hingga perjuangannya

Budi Arista Romadhoni
Jum'at, 03 Oktober 2025 | 08:01 WIB
Srikandi Everest Telah Berpulang, Clara Sumarwati Wafat Usai Berjuang Melawan Sakit
Pendaki Gunung Clara Sumarwati tutup usia. [Istimewa]
Baca 10 detik
  • Clara Sumarwati, perempuan pertama Asia Tenggara penakluk Everest, meninggal dunia di usia 60 tahun.
  • Prestasinya pada 1996 sempat menuai kontroversi di Tanah Air karena minimnya bukti dokumentasi.
  • Perjuangan hidupnya diwarnai tekanan mental berat setelah pencapaian bersejarah tersebut.

SuaraJogja.id - Dunia petualangan dan pendakian Indonesia berduka. Clara Sumarwati, sosok yang tercatat dalam sejarah sebagai perempuan pertama dari Indonesia dan Asia Tenggara yang berhasil mencapai puncak Gunung Everest, meninggal dunia.

Ia wafat pada usia 60 tahun di Yogyakarta, Kamis (2/10/2025).

Kabar duka ini dikonfirmasi oleh pihak keluarga. Sang kakak, Rita Heru Setyatini, mengungkapkan bahwa Clara meninggal setelah berjuang melawan penyakit komplikasi.

"Benar, meninggal tadi jam 16.10 dikarenakan gulanya naik, ginjal, terus kolaps," kata Rita saat dihubungi.

Baca Juga:Lampu Merah Bebas Pengamen? Jogja Siapkan Jurus Jitu 'Zero Gepeng'

Prosesi pemakaman jenazah dijadwalkan berlangsung pada Jumat (3/10/2025) di pemakaman Sidikan, Umbulharjo, Yogyakarta.

Siapa Clara Sumarwati?

Nama Clara Sumarwati adalah simbol keberanian dan ketangguhan. Pada 26 September 1996, ia berhasil mengibarkan bendera Merah Putih di titik tertinggi Bumi, puncak Everest (8.848 mdpl).

Pencapaian monumental ini tidak hanya mengharumkan nama Indonesia, tetapi juga membuktikan bahwa perempuan Tanah Air mampu menorehkan prestasi di tingkat dunia.

Lahir di Yogyakarta, 6 Juli 1967, semangat petualangan Clara sudah terasah sejak masa kuliah.

Baca Juga:Warga Sleman Cemas, Masjid & Pesantren di Tanah Wakaf Terancam Tol, Bagaimana Solusinya?

Aktif di Resimen Mahasiswa (Menwa) Universitas Atma Jaya, ia mulai menaklukkan berbagai puncak gunung sebagai persiapan.

Sebelum Everest, ia telah lebih dulu mencapai puncak Annapurna IV di Nepal (1991) dan Aconcagua di Argentina (1993), menunjukkan kapabilitasnya sebagai pendaki kelas dunia.

Namun, jalan menuju atap dunia tidaklah mudah. Upaya pertamanya pada 1994 bersama tim Perkumpulan Pendaki Gunung Angkatan Darat (PPGAD) harus terhenti di ketinggian 7.000 meter karena kondisi alam yang tidak memungkinkan.

Tak menyerah, ia kembali dengan tekad lebih kuat pada 1996 dan berhasil menuntaskan misinya.

Ironisnya, prestasi besar Clara justru disambut dengan keraguan di negerinya sendiri.

Sepulangnya ke Indonesia, klaim pencapaian puncak Everest yang ia sampaikan menuai kontroversi.

Sejumlah pihak mempertanyakan keabsahan pendakiannya karena minimnya bukti foto atau video di puncak. Polemik ini menjadi bola salju yang memberikan tekanan psikologis luar biasa kepadanya.

Beban berat dari kontroversi tersebut berdampak pada kesehatan mentalnya. Pada tahun 1997, Clara harus menjalani perawatan intensif di Rumah Sakit Jiwa (RSJ) karena depresi berat. Prestasi yang seharusnya menjadi kebanggaan, justru menjadi sumber penderitaan.

Meskipun diwarnai pro dan kontra di dalam negeri, dunia internasional tetap mengakui pencapaiannya. Namanya tercatat dalam buku "Everest" karya Walt Unsworth dan diakui sebagai penakluk Everest ke-836.

Kini, Sang Srikandi Everest telah pergi untuk selamanya, meninggalkan warisan tentang perjuangan, prestasi, dan tragedi seorang pahlawan yang sempat terlupakan.

BERITA TERKAIT

REKOMENDASI

Terkini

Tampilkan lebih banyak