Benarkah Kasus Kekerasan Seksual di Pesantren "Dibesar-besarkan"? Ini Data dan Fakta yang Mencengangkan

Kekerasan seksual di ponpes marak, kontras dengan anggapan kasus "dibesar-besarkan". Data tunjukkan peningkatan, korban kesulitan cari keadilan karena relasi kuasa & lemahnya regulasi.

Muhammad Ilham Baktora
Rabu, 15 Oktober 2025 | 14:44 WIB
Benarkah Kasus Kekerasan Seksual di Pesantren "Dibesar-besarkan"? Ini Data dan Fakta yang Mencengangkan
Ilustrasi kekerasan seksual pada santri. [freepik.com]
Baca 10 detik
  • Menteri Agama, Nasaruddin Umar menyebut media massa terlalu membesarkan kasus kekerasan seksual di pesantren
  • Ironisnya, kasus kekerasan seksual yang terjadi dalam 3 tahun terakhir terjadi cukup banyak
  • Harus ada peran pemerintah secara tegas untuk mengawasi dan menyediakan lingkungan pendidikan yang aman

2023: Sebanyak 41 santri menjadi korban di sebuah ponpes di Lombok Timur, NTB pada Mei 2023.

2024: Di Kabupaten Agam, Sumatera Barat, seorang pengasuh asrama mencabuli 40 santri.

Di Bekasi, seorang guru ngaji dan pemilik ponpes menjadi tersangka pelecehan tiga santriwati.

Kasus di Maros (Desember 2024) melibatkan 20 korban, dan di Jambi (Oktober 2024) dengan 12 korban.

Baca Juga:Penganiayaan Santri Putri: Pondok Klaim Sudah Tangani Sesuai Prosedur, Tapi Keluarga Korban Tak Terima

2025: Beberapa kasus terungkap pada Januari 2025 di Jakarta Timur (5 korban), Nganjuk (2 korban), Martapura (20 korban), dan Lombok Tengah (3 korban).

Pada Juni 2025, kasus di Sumenep melibatkan 13 santri yang menjadi korban kekerasan seksual sejak 2016 hingga 2024, dan di Ciamis, seorang guru menyetubuhi santrinya berkali-kali sejak November 2024 hingga Februari 2025, dengan lima santri lain juga menjadi korban.

Perjuangan Korban Mencari Keadilan di Tengah Minimnya Pengakuan

Ilustrasi santri (Mufid Majnun/Unsplash)
Ilustrasi santri (Mufid Majnun/Unsplash)

Pernyataan Menteri Agama bahwa kasus kekerasan seksual di pesantren dibesar-besarkan oleh media seringkali bertolak belakang dengan kenyataan bahwa korban justru kesulitan mendapatkan keadilan.

Proses hukum yang panjang dan berbelit, bahkan membutuhkan penangkapan paksa, seperti pada kasus MSA di Jombang, menunjukkan lambatnya keadilan bagi korban.

Baca Juga:Balik Arah, Santri Korban Penganiayaan di Ponpes Ora Aji Dilaporkan Balik atas Dugaan Pencurian

Seringkali, kasus kekerasan seksual di lembaga pendidikan berbasis agama mengkriminalisasi korban karena anggapan tempat tersebut suci, membuat laporan sulit dilakukan.

Para korban, terutama yang masih di bawah umur, seringkali tidak segera melaporkan karena pelaku adalah sosok yang memiliki kuasa (guru, pimpinan ponpes) dan posisi terhormat di masyarakat.

Rasa takut akan ancaman, hambatan pendidikan, serta tekanan sosial membuat korban memilih bungkam.

Potensi Kekerasan Seksual di Ponpes: Relasi Kuasa dan Ketiadaan Regulasi

Ilustrasi pondok pesantren. [ChatGPT]
Ilustrasi pondok pesantren. [ChatGPT]

Potensi terjadinya kekerasan seksual di lingkungan ponpes cukup tinggi dan mudah terjadi karena beberapa faktor.

Pertama, relasi kuasa yang timpang antara pelaku (seringkali pengasuh, guru, atau pimpinan ponpes) dan korban (santri) menjadi pemicu utama.

BERITA TERKAIT

REKOMENDASI

Terkini

Tampilkan lebih banyak