Pakar Soroti Peluang Kerja Luar Negeri, Kabar Gembira atau Cermin Gagalnya Ciptakan Loker?

Lonjakan PMI di luar negeri ironis: cerminan gagalnya Indonesia sediakan kerja layak. Pemerintah harus selektif, utamakan tenaga terampil, lindungi pekerja rendah.

Budi Arista Romadhoni | Hiskia Andika Weadcaksana
Rabu, 19 November 2025 | 20:15 WIB
Pakar Soroti Peluang Kerja Luar Negeri, Kabar Gembira atau Cermin Gagalnya Ciptakan Loker?
Ilustrasi Bekerja di Luar Negeri (Freepik)
Baca 10 detik
  • Lonjakan permintaan kerja luar negeri menjadi ironi karena mencerminkan kegagalan penyediaan lapangan kerja layak di dalam negeri bagi warga negara Indonesia.
  • Pakar UGM, Agustinus Subarsono, menyatakan apresiasi hanya layak jika kualifikasi yang dicari adalah tenaga terampil seperti dokter atau ekonom, bukan pekerja berketerampilan rendah.
  • Pemerintah didesak selektif menyikapi tawaran kerja sektor pembantu rumah tangga karena tingginya angka pengangguran terbuka serta risiko kerentanan eksploitasi PMI.

SuaraJogja.id - Lonjakan peluang kerja di luar negeri yang belakangan disambut hangat oleh pemerintah dinilai menyimpan sebuah ironi besar.

Alih-alih menjadi kabar baik, fenomena ini justru dianggap sebagai cermin kegagalan negara dalam menyediakan lapangan kerja yang layak bagi warganya sendiri di tengah angka pengangguran yang masih tinggi.

Pakar Kebijakan Publik Universitas Gadjah Mada (UGM), Agustinus Subarsono, mengakui bahwa dari satu sisi, permintaan tenaga kerja dari negara lain bisa dilihat sebagai prestasi. Namun, ia mengingatkan adanya dua sisi mata uang yang perlu dicermati secara kritis.

"Banyaknya permintaan lowongan kerja di luar negeri tentu merupakan kabar gembira bagi pemerintah di tengah sulitnya menyediakan lapangan kerja di Indonesia," kata Subarsono saat dikonfirmasi, Rabu (19/11/2025).

Baca Juga:Demokrasi di Ujung Tanduk? Disinformasi dan Algoritma Gerogoti Kepercayaan Publik

Meski begitu, ia menekankan bahwa jenis kualifikasi pekerjaan yang diminati menjadi tolok ukur utama untuk menilai apakah ini sebuah kebanggaan atau justru sebuah ironi.

Menurutnya, jika permintaan didominasi oleh tenaga terampil dan terdidik, hal itu patut diapresiasi.

"Kalau yang dibutuhkan adalah tenaga kerja yang terdidik dan memiliki ketrampilan tinggi, seperti dokter, perawat, ekonom, chef (koki), maka Pemerintah dan masyarakat Indonesia wajib bangga karena kompetensinya diakui oleh luar negeri," ungkapnya.

Sebaliknya, jika pasar kerja luar negeri lebih banyak menyerap tenaga kerja berketerampilan rendah (low skill worker), hal ini justru menjadi tamparan keras bagi citra Indonesia sebagai negara besar.

“Kalau yang dibutuhkan adalah tenaga kerja kelas bawah, seperti Asisten Rumah Tangga (ART), cleaner service dan gardener, maka kurang membanggakan bagi negeri sebesar Indonesia ini," ucapnya.

Baca Juga:Ramai Motor Mogok Massal di Jawa Timur, Pakar Sebut Tak Terkait Campuran Etanol di Pertalite

Kekhawatiran ini bukan tanpa dasar. Subarsono menyoroti rekam jejak kelam yang kerap menimpa para Pekerja Migran Indonesia (PMI), khususnya yang bekerja sebagai ART di berbagai negara.

"Pengalaman selama ini pengiriman ART di beberapa negara Timur Tengah dan Malaysia banyak menimbulkan masalah," imbuhnya.

Cermin Kegagalan di Dalam Negeri

Menurut Subarsono, dorongan masif dari pemerintah agar warga negaranya mencari nafkah di negeri orang tidak bisa dilepaskan dari ketidakmampuan negara menciptakan lapangan kerja yang memadai di dalam negeri.

Ini menjadi jalan pintas di tengah tantangan ekonomi domestik.

"Dorongan Pemerintah bagi tenaga kerja Indonesia untuk berangkat ke LN untuk memenuhi permintaan jumlah tenaga kerja yang dibutuhkan dapat dibaca kurang berhasilnya Pemerintah dalam penyediaan lapangan pekerjaan bagi warganya," tegasnya.

BERITA TERKAIT

REKOMENDASI

Terkini

Tampilkan lebih banyak