- Lonjakan permintaan kerja luar negeri menjadi ironi karena mencerminkan kegagalan penyediaan lapangan kerja layak di dalam negeri bagi warga negara Indonesia.
- Pakar UGM, Agustinus Subarsono, menyatakan apresiasi hanya layak jika kualifikasi yang dicari adalah tenaga terampil seperti dokter atau ekonom, bukan pekerja berketerampilan rendah.
- Pemerintah didesak selektif menyikapi tawaran kerja sektor pembantu rumah tangga karena tingginya angka pengangguran terbuka serta risiko kerentanan eksploitasi PMI.
Data menunjukkan bahwa pekerjaan rumah pemerintah masih sangat besar. Tingkat Pengangguran Terbuka (TPT) menjadi bukti nyata tantangan tersebut.
"Jumlah pengangguran terbuka per Agustus 2025 sebanyak 4,85 persen atau 7.461.510. Oleh karena itu, tidak mudah menyediakan lapangan kerja bagi lebih 7 juta orang," ujarnya.
Atas dasar itu, Subarsono mendesak pemerintah untuk lebih selektif dalam menyikapi tawaran kerja dari luar negeri, terutama yang menyangkut sektor pekerja rumah tangga yang rentan eksploitasi.
"Catatan saya, kalau yang dibutuhkan adalah tenaga kerja kelas bawah khususnya ART, lebih baik tawaran tersebut tidak perlu diterima," tandasnya.
Baca Juga:Demokrasi di Ujung Tanduk? Disinformasi dan Algoritma Gerogoti Kepercayaan Publik
Jika pemerintah tetap bersikeras mengirimkan pekerja di sektor tersebut, ia menegaskan bahwa negara wajib hadir memberikan pembekalan dan perlindungan maksimal. Tujuannya jelas, agar para pahlawan devisa tidak lagi menjadi korban perlakuan tidak manusiawi.
"Agenda serius bagi pemerintah apabila mau mengirimkan ART adalah memberikan bekal khusus berupa soft skill, seperti kursus bahasa sesuai dengan bahasa negara tujuan dan skill dalam menggunakan alat-alat rumah tangga modern misalnya microwave, dishwasher, washing machine dan lain sebagainya," pungkasnya.