Scroll untuk membaca artikel
Agung Sandy Lesmana
Rabu, 03 April 2019 | 13:41 WIB
Slamet Jumiarto, 42, menunjukan SK larangan non muslim tinggal di Dusun Karet, Desa Pleret, Kecamatan Pleret, Bantul, Selasa (2/4/2019). [Harian Jogja/Ujang Hasanudin]

"Karena uangnya sudah dipakai untuk banyak kebutuhan," ucap Slamet.

Di akhir pertemuan, Kepala Desa Pleret dan perwakilan Pemerintah Kabupaten Bantul meminta peraturan di tingkat dusun yang diskriminatif dan meminggirkan minoritas itu direvisi karena bertentangan dengan Konstitusi.

"Sebagai warga negara yang baik, kami menurut apa kata pemerintah. Kami akan mengikuti peraturan," ujar Dalyanto.

"Ini menjadi pelajaran bagi kami untuk membuat peraturan yang lebih baik, yang tidak mendiskriminasi minoritas. Kami akui peraturan ini adalah kelalaian kami. Dalam hati kecil, sebenarnya saya kasihan karena ada yang menjadi korban," ujar Ahmad Sudarmi, yang berprofesi sebagai kepala sekolah satu SD di Bantul.

Baca Juga: Mulai Hari Ini, LGBT di Brunei Bakal Dilempari Batu Sampai Mati

"Kami alpa dan kami akan belajar."

Ahmad Sudarmi mengatakan peraturan untuk pendatang itu dibuat demi keharmonisan warga.

"Ada keresahan di kalangan warga, misalnya keberadaan Islam yang berbeda dengan budaya di dusun ini. Akhirnya kami membuat aturan untuk pendatang yang mau tinggal atau membeli rumah di Karet," kata dia.

"Bukan berarti kami anti terhadap nonmuslim."

Sebenarnya, ada satu pemeluk Kristen di Dusun Karet yang menempati tanah warisan jauh sebelum aturan diskriminatif dibuat. Dia tak terusik karena leluhurnya warga Dusun Karet.

Baca Juga: Kepergok Curi Ponsel Warga, 2 Pengamen di Bekasi Apes Dikeroyok Massa

Aturan itu, menurut Ahmad Sudarmi, lahir berdasarkan masukan dari sejumlah pemuka agama dusun.

Load More