“Kami waktu itu menilai cacat hukum dari draf perdais karena aturan ini memperluas kualifikasi tanah SG dan PAG. Padahal dalam UU Keistimewaan, limitasinya tak terlalu luas,” kata dia saat ditemui tim kolaborasi, Senin (5/4/2021).
Nazarudin juga menegaskan UU Keistimewaan dan Perdais Pertanahan yang disusun tidak sesuai dengan UU Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria (UUPA). UUPA menjelaskan, tanah-tanah bekas swapraja atau tanah milik kerajaan sepenuhnya menjadi tanah negara dan dikelola oleh pemerintah serta masyarakat.
”Sinkronisasi antara dua UU ini seperti apa? Saling bertentangan. Seolah-seolah ini kerajaan dalam negara,” terang dia.
Sementara kebijakan Sultan HB X yang memberikan izin kepada kerabat keraton untuk memanfaatkan tanah desa, dinilai Nazaruddin bertentangan dengan semangat Pasal 16 UU Keistimewaan. Aturan itu berbunyi Gubernur dan Wakil Gubernur DIY dilarang membuat keputusan secara khusus memberi keuntungan untuk diri sendiri, keluarga, mitra atau kolega, yang nantinya merugikan bahkan mendiskriminasi negara dan masyarakat tertentu.
Baca Juga: Dua Pekan Beroperasi di Balai Kota Yogyakarta, Mobil Vaksin Imunisasi 50 Orang Per Hari
“Sesuai UU Keistimewaan, tanah-tanah (yang disertifikasi menjadi milik keraton) kan tidak boleh untuk komersil. Tapi (tanah) itu sekarang untuk komersiil,” ucap dia.
Wakil Ketua DPRD DIY, Suharwanta menambahkan, jauh sebelum Perdais Pertanahan lahir, lebih dulu berlaku Perda Nomor 4 Nomor 1954 tentang Tanah atas Tanah di DIY. Perda yang ditandatangani Sultan HB IX itu menyebutkan tanah-tanah desa sudah menjadi milik desa.
“Itu bisa digunakan untuk pengarem-arem, pelungguh, kas desa maupun yang lain. Jadi sudah ada perda yang mengesahkan tanah desa itu menjadi milik desa. Memang asal muasalnya hak anggaduh, tapi ketika sudah ada perda yang mengatur itu, kami dari Fraksi PAN memandang itu sudah jadi milik desa,” terang Suharwanta ditemui tim kolaborasi di Kantor DPRD DIY, Rabu (15/3/2021).
UU Nomor 6/2014 tentang Desa pun kian menguatkan. Ia menilai tanah-tanah desa di DIY tidak boleh dianggap menjadi milik kasultanan atau kadipaten, melainkan hak penuh adalah milik desa. Berdasar UU Keistimewaan, pemanfaatan tanah desa harus memenuhi tiga hal, yaitu hanya boleh digunakan untuk pengembangan kebudayaan, kesejahteraan masyarakat, dan kepentingan sosial.
“Saat pembahasan rapat pembuatan Raperda Keistimewan, kami punya sikap yang berbeda. Tapi, karena sekarang sudah (disahkan) menjadi perda, kami memang harus mengakui. Ini bagian dari cara pengambilan keputusan,” ujar dia.
Baca Juga: Wamenkumham Berharap Tahun Ini Kantor Imigrasi Yogyakarta Dapat WBBM
Berbeda dengan Nazarudin, kepemilikan tanah oleh kasultanan dan kadipaten diklaim Suharwanta berdasarkan Pasal 2 pada ayat 1 UUPA. Bahwa disebutkan bumi air dan ruang angkasa, termasuk kekayaan alam yang terkandung di dalamnya pada tingkatan tertinggi dikuasai negara untuk mencapai sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Ia berpendapat lahirnya UU Keistimewaan harus memiliki semangat yang sama untuk kemakmuran rakyat.
“UU Keistimewaan itu berbasis ke situ. Negara memberi hak kasultanan dan kadipaten untuk punya tanah. Apa wujud pemberian hak itu? UU Keistimewaan,” ujar dia.
Ia berharap kelahiran UU Keistimewaan ini menjadi mandat untuk benar-benar bisa memakmurkan rakyat. Dengan demikian, harus ada komitmen baik dari kasultanan, kadipaten, pemerintah, DPRD dan masyarakat.
Dugaan penguasaan tanah-tanah desa oleh famili Keraton Ngayogyakarta Hadiningrat untuk kepentingan pribadi dan bisnis disangkal oleh Achiel Suyanto sebagai kuasa hukum keraton. Menurutnya, kabar burung yang muncul itu belum bisa dibuktikan.
“Kelurga keraton berbisnis seperti itu enggak ada, setahu saya lho. Karena kami mengerti semua itu tujuannya untuk kesejahteraan masyarakat. Jadi tidak mungkin mengambil tanah rakyat kemudian dibuat hotel. Untuk apa?” ujar dia, Rabu (1/9/2021).
Jika pun ada, keraton pasti membeli tanah tersebut, kemudian dibangun hotel. Menurutnya, famili keraton juga butuh hidup, sehingga wajar berbisnis. Hanya saja perlu diteliti tanah yang dimanfaatkan itu seperti apa.
Berita Terkait
-
Kantor LBH Yogyakarta Diteror, Ketua YLBHI Minta Polisi Usut Pelaku dan Aktor Intelektual
-
Kantornya Diduga Jadi Sasaran Teror Bom Molotov, LBH Yogyakarta Lapor Polisi
-
Viral Toko di Yogyakarta Diduga Jual Masker Bekas, Begini Penjelasan Pihak Penjual
-
Viral Modus Penjualan Masker Bekas di Yogyakarta, Kondisinya Bikin Publik Ngeri
Tag
Terpopuler
- Cerita Pemain Keturunan Indonesia Tristan Gooijer Tiba di Bali: Saya Gak Ngapa-ngapain
- Review dan Harga Skincare GEUT Milik Dokter Tompi: Sunscreen, Moisturizer, dan Serum
- 5 Motor Matic Bekas Murah: Tampang ala Vespa, Harga Mulai Rp3 Jutaan
- Bareskrim Nyatakan Ijazah S1 UGM Jokowi Asli, Bernomor 1120 dengan NIM 1681/KT
- Harley-Davidson Siapkan Motor yang Lebih Murah dari Nmax
Pilihan
-
6 'Bansos' Disalurkan Pemerintah Mulai Juni 2025, Ini Daftar dan Sasarannya
-
Profil Arkhan Fikri: Anak Emas Shin Tae-yong, Pemain Muda Terbaik BRI Liga 1
-
PSS Sleman Degradasi, Pemain Timnas Brasil dan Australia Ungkap Kesedihan
-
Shayne Pattynama Tulis Prediksi Skor Timnas Lawan China di Sandal
-
7 Rekomendasi HP Kamera 108 MP Terbaik 2025: Layar AMOLED, Harga Rp2 Jutaan
Terkini
-
Detik-detik Kecelakaan Motor di Godean, Korban Cedera Parah
-
Lewat Bola dan Sponsorship di GFL Series 3, BRI Tanamkan Nilai Positif ke Anak Muda
-
Hadiah Digital yang Bangkitkan Solidaritas Sosial, Klaim 3 Link Saldo DANA Kaget Ini
-
Moratorium Hotel Sumbu Filosofi Diberlakukan, PHRI Desak Penertiban 17 Ribu Penginapan Ilegal
-
Kelanjutan Soal Besaran Pungutan Ekspor Kelapa, Mendag Ungkap Hal Ini