Scroll untuk membaca artikel
Eleonora PEW | Rahmat jiwandono
Senin, 27 September 2021 | 14:48 WIB
Bareskrim Polri menggelar jumpa pers terkait jaringan produksi dan peredaran gelap obat keras atau berbahaya lintas provinsi jaringan Jawa Barat, DKI Jakarta, DIY, Jawa Timur, hingga Kalimantan Selatan di Gudang Mega Cland Lab, Jalan PGRI I Sonosewu No.158, Kalurahan Ngestiharjo, Kapanewon Kasihan, Kabupaten Bantul pada Senin (27/9/2021). - (SuaraJogja.id/Rahmat Jiwandono)

SuaraJogja.id - Direktorat Tindak Pidana Narkoba Bareskrim Polri membongkar jaringan produksi dan peredaran gelap obat keras atau berbahaya lintas provinsi jaringan Jawa Barat, DKI Jakarta, DIY, Jawa Timur, hingga Kalimantan Selatan. Hal itu terungkap dalam konferensi pers di Gudang Mega Cland Lab, Jalan PGRI I Sonosewu No.158, Kalurahan Ngestiharjo, Kapanewon Kasihan, Kabupaten Bantul pada Senin (27/9/2021).

Jumpa pers dihadiri Kabareskrim Polri Komjen Pol Agus Andrianto, Kapolda DIY Irjen Pol Asep Suhendar, Direktur Tindak Pidana Narkoba Bareskrim Polri Brigjen Pol Krisna H Siregar, Karopenmas Divisi Humas Polri Brigjen Rusdi Hartono, dan Kepala Balai Badan Pengawas Obat dan Makanan (BBPOM) DIY Dewi Perwitasari.

Karopenmas Divisi Humas Polri Brigjen Rusdi Hartono menyampaikan, operasi ini merupakan rangkaian kegiatan kepolisian yang ditingkatkan dengan sandi anti pil koplo 2021. Adapun targetnya ialah obat keras dan berbahaya beserta pengedarnya.

"Tentunya dari kegiatan ini, sekitar tanggal 13-15 September berhasil mengungkap para pengedar gelap obat-obat keras dan psikotropika. Sebanyak delapan pelaku ditangkap, di mana barang bukti yang disita kuran lebih lima juta butir pil obat terlarang," ungkapnya.

Baca Juga: Pengedar Pil Yarindo Lintas Provinsi Ditangkap, Kecamatan Ini Kerap Jadi Area Transaksi

Lima juta butir pil tersebut meliputi Hexymer, Trihex, Tramadol, Aprazolam, DMP, dan double L. Pil-pil itu diperoleh dari berbagai TKP yakni Cirebon, Indramayu, Majalengka, Bekasi, dan Jakarta Timur.

"Didapatnya dari lima lokasi berbeda," katanya.

Bermodalkan pengungkapan itu, sambungnya, maka tim dari Direktorat Tindak Pidana Narkoba Bareskrim Polri mendapat petunjuk bahwa pabrik pembuatan obat keras dan berbahaya ini ada di Bantul.

"Ternyata setelah didalami bahwa obat-obat tersebut di tempat ini dan sudah beroperasi sejak 2018 lalu. Obat yang dihasilkan dalam sehari sekitar dua juta butir obat," jelas dia.

Direktur Tindak Pidana Narkoba Bareskrim Polri Brigjen Pol Krisna H Siregar mengatakan, jajarannya berkerjasama dengan Polda DIY pada Selasa (21/9/2021 pukul 23.00 WIB menangkap tersangka WZ (53) asal Kabupaten Karanganyar, Jawa Tengah dan seorang saksi berinisial A di TKP gudang Kasihan, Bantul. Kemudian dilanjutkan penggeledahan tempat yg diduga sbg Mega Cland Lab untuk produksi obat-obat keras.

Baca Juga: Remaja 19 Tahun di Kasihan Ini Bagi-Bagi Gratis Ribuan Liter Pertamax

"Di lokasi ini kami temukan mesin-mesin produksi obat, berbagai jenis bahan kimia prekursor obat, obat-obat keras jenis Hexymer, Trihex, DMP, double L, Irgaphan 200 mg yang sudah dikemas dan siap kirim, dan adonan/campuran berbagai prekursor siap diolah menjadi obat," katanya.

Tersangka WZ sebagai penanggungjawab gudang dan saksi AR sebagai pekerja menerangkan bahwa atasannya adalah LSK alias DA (49) asal Kasihan, Bantul. Lantas pada Rabu (22/9/2021) sekitar pukul 00.15 WIB pelaku berhasil ditangkap di kediamannya.

"DA ditangkap di sebuah perumahan Kec. Kasihan, Bantul, DIY. Berdasarkan hasil interogasi DA bahwa masih ada satu pabrik lainnya terletak di gudang Kalurahan Bayuraden, Gamping, Sleman," katanya.

Jajarannya pun langsung bergerak ke lokasi yang dimaksud untuk melakukan penggeledahan dan menemukan pabrik pembuatan dan penyimpanan obat keras.

Dijelaskannya, DA berperan sebagai penerima pesanan dari EY (DPO/ Pengendali) dan mengirim obat ke beberapa kota di Probinsi DKI Jakarta, Jatim, Jabar, Kalsel. DA digaji oleh kakak kandungnya yakni JSR alias J (56) sebagai pemilik pabrik.

"Saat itu sekitar jam 03.30 WIB, JSR berhasil ditangkap di rumahnya di Gamping, Sleman," ujarnya.

Adapun modus yang digunakan para pelaku ialah memproduksi obat-obat keras yang sudah dicabut izin edarnya oleh BPOM RI. Kemudian mengedarkan ke berbagai daerah di Indonesia dengan menggunakan jasa pengiriman barang.

Pria berpangkat bintang satu itu menyatakan tersangka telah melanggar Pasal 60 UU No.11/2020 tentang Cipta Kerja perubahan atas pasal 197 UU No.36/2009 tentang Kesehatan yang mana setiap orang yang dengan sengaja memproduksi atau mengedarkan sediaan farmasi dan/atau alat kesehatan yang tidak memiliki izin edar sebagaimana dimaksud dalam Pasal 106 ayat (1) dipidana dengan pidana penjara paling lama 15 (lima belas) tahun dan denda paling banyak Rp1,5 miliar. Kedua, mereka dijerat Pasal 198 UU No.36/2009 tentang Kesehatan yaitu setiap orang yang tidak memiliki keahlian dan kewenangan untuk melakukan praktik kefarmasian sebagaimana dimaksud dalam Pasal 108 dipidana dengan pidana denda paling banyak Rp100 juta.

"Selain itu juga dikenai Pasal 60 UU No.5/1997 tentang Psikotropika dengan ancaman hukuman 15 tahun penjara dan pidana denda paling banyak Rp200 juta," katanya.

Sejumlah barang bukti yang disita dari gudang tersebut antara lain satu unit truk colt diesel berpelat nomor AB 8608 IS, 30.345.000 butir obat keras yang sudah dikemas menjadi 1.200 colli paket dus, tujuh unit mesin cetak pil Hexymer, DMP dan double L, lima unit mesin oven obat, dua unit mesin pewarna obat, satu unit mesin cording/printing untuk pencetak, bahan prekusor antara lain berupa Polivinill Pirolidon (PVP) 25 KG, Microcrystalline Cellulose (MCC) 150 KG, Sodium Starch Glycolate (SSG) 450 KG, Polyoxyethylene Glycol 6000 (PEG) 15 KG, Dextromethorphan 200 KG, Trihexyphenidyl 275 KG, Talc 45 KG, Lactose 6.250 KG, 100 KG adonan prekusor pembuatan obat keras, 500 kardus warna coklat, serta 500 botol kosong tempat penyimpanan obat keras.

Kabareskrim Polri Komjen Pol Agus Andrianto mengumpamakan, bila dalam satu hari mampu memproduksi dua juta butir, dan satu butir dihargai Rp2.000, maka keuntungannya Rp2 miliar.

"Asumsi satu butir harganya seribu. Jadi sehari dapat uang Rp2 miliar dari dua pabrik yang ada di sini," terangnya.

Kasus ini baru terungkap sekarang, katanya, karena tempatnya tertutup dan izinnya juga tidak ada. Untuk itu butuh peran serta dari masyarakat.

"Kalau masyarakat melihat hal-hal aneh bisa segera dilaporkan ke polisi," katanya.

Load More