Scroll untuk membaca artikel
Galih Priatmojo | Hiskia Andika Weadcaksana
Kamis, 30 September 2021 | 16:25 WIB
Leo Mulyono, penyintas tragedi G30S. [Hiskia Andika Weadcaksana / SuaraJogja.id]

"Waktu itu masih harus seminggu sekali Santiaji ke MPP (Kantor Kemantren) Wirobrajan," tuturnya.

Leo akhirnya menikah pada tahun 1980 dengan istrinya Deborah Oni Ponirah yang juga mantan tahanan Plantungan. Istrinya itu, kata Leo ditangkap hanya karena ikut menari genjer-genjer. 

Kondisi itu tetap belum mengubah keadaan yang dirasakan mereka berdua semenjak pulang ke Jogja. Mereka berdua tetap harus mengikuti Santiaji hingga beberapa tahun.

"Jadi camat setiap bulan ketemu dan aku membaca janji sumpah dan ditirukan semua bekas tahanan itu," ungkapnya.

Baca Juga: Berdiri Tugu Palu Arit di Palembang, Puluhan Kantor Serikat Buruh

Ada satu waktu ketika istrinya tidak bisa berangkat untuk mengikuti Santiaji akibat melahirkan anak bungsunya. Namun ternyata tidak ada kelonggaran yang diberikan kepada keluarga itu.

Mereka tetap diberikan peringatan untuk segera melapor ke pemerintah setempat. Bahkan hingga lapor ke kantor militer untuk memberikan kejelasan kenapa tidak berangkat Santiaji. 

Beruntung, situasi itu akhrinya berangsur-angsur berubah setelah Abdurrahman Wahid atau Gus Dur menjabat sebagai Presiden ke-4. Perubahan itu semakin bisa dirasakan setelah kebijakan Santiaji bagi eks tapol '65 dihilangkan. 

Suara Senyap dan Merawat Ingatan

Dari hasil pernikahannya, Leo dikaruniai empat orang anak, tiga perempuan dan satu laki-laki. Ia mengakui memang sempat merahasiakan statusnya sebagai eks tapol PKI kepada anak-anaknya itu.

Baca Juga: Kumpulan 30 Link Download Twibbon Peringatan G30S PKI

Alasannya adalah takut jika statusnya tersebut dapat berdampak pada anak-anaknya dalam menjalani kehidupan. Terlebih belum lama setelah itu nuansa orde baru masih sangat terasa.

Load More