Scroll untuk membaca artikel
Galih Priatmojo | Hiskia Andika Weadcaksana
Kamis, 30 September 2021 | 16:25 WIB
Leo Mulyono, penyintas tragedi G30S. [Hiskia Andika Weadcaksana / SuaraJogja.id]
Leo Mulyono, penyintas tragedi G30S. [Hiskia Andika Weadcaksana / SuaraJogja.id]

"Jadi polisi bener-bener ngapusi (membohongi) aku. Jarene nek Jogja aman diolehke mulih (katanya kalau Jogja sudah aman akan dibiarkan pulang). Aku nunggu sedino (sehari), seminggu, sesasi (sebulan), sampai 14 tahun ternyata itu saja kalau tidak ada tuntutan palang merah kemanusiaan dunia mungkin masih bisa dipenjara," ungkapnya

Tak lama etelah kembali ke Nusakambangan untuk kedua kalinya, Leo dan rombongan kemudian dipindah lagi. Dimasukkan dalam unit 4 Savanajaya, Leo tergabung dengan sejumlah lulusan SMA dan sarjana. Mahasiswa dari seluruh Indonesia lengkap.

Bukan lagi menggunakan kereta api, kali ini Leo sudah dijemput menggunakan kapal laut Tobelo. Teringat lagi kata polisi militer di Ambarawa waktu itu, kemungkinan besar memang rombongan akan menuju ke Pulau Buru.

Di dalam perjalanannya Leo dan rekan-rekannya diberikan hiburan berupa lantunan lagu-lagu dangdut. Walaupun tidak banyak dan hanya diulang-ulang tetapi setidaknya kala itu lagu tersebut menjadi hiburan tersendiri.

Baca Juga: Berdiri Tugu Palu Arit di Palembang, Puluhan Kantor Serikat Buruh

"Perjalanan itu 5 hari 6 malam itu. Berangkat malam dari Nusakambangan. Lagunya dangdut long play. Lagunya sama itu terus Elvy Sukaesih. Goyang dewe wong kapale udah goyang," kata Leo sambil terkekeh.

Akhirnya tibalah Leo di Pulau Buru, Maluku. Diceritakan Leo, bahwa ia juga tahu kalau di sana juga terdapat sosok Pramoedya Ananta Toer. Meski memang berbeda unit, jika Leo di unit 4, Pram berada di unit 3.

"Ketemu Pak Pram juga. Terakhir dia itu ditarik ke markas komando kok. Ngarang Bumi Manusia itu kan dia ada di mako. Saya juga ada di mako tapi tukang angon kuda, kuda komandan markas komando," terangnya.

Pada medio tahun 1971-1973 itu ada sejumlah keluarga dari beberapa teman Leo yang datang untuk menjenguk. Leo yang saat itu masih lajang lalu dipindahkan ke unit 1.  

Di Pulau Buru sendiri, Leo mengaku telah membuat sejumlah karya yang mungkin hingga saat ini masih ada. Di antaranya Gedung Kesenian, jalan-jalan yang ada di sana, hingga Tugu di Savanajaya.

Baca Juga: Kumpulan 30 Link Download Twibbon Peringatan G30S PKI

"Gedung kesenian itu yang buat saya, jalan-jalan itu yang ngerancang saya sama Rukmono (temannya saat di Pulau Buru). Terus ada Tugu di Savanajaya, itu yang natah saya dan Rukmono sekarang udah meninggal. Mahat itu pakai paku. Terus dibangun sekarang," ungkapnya.

Stempel PKI dan Cinta Deborah

Akhirnya, setelah 14 tahun berjuang untuk tetap bertahan di berbagai penjara tanpa ada latar belakang yang jelas mengapa ia ditahan. Leo bisa menghirup udara bebas pada tahun 1979.

Namun sepulangnya ke Jogja kebebasan itu belum sepenuhnya dirasakan. Leo yang dulu indekost di daerah Wirobrajan, Jalan Wates nomer 25 setelah 14 tahun tidak diterima lagi di sana.

Ia bahkan sempat diminta untuk menginap sementara di Koramil Wirobrajan. Tetapi Leo menolak. Ia lebih memilih mencari Pak Lik-nya untuk tinggal sementara saat masa kepulangannya ke Jogja itu.

Selain itu, Leo juga masih harus melakukan Santiaji Pancasila. Salah satu program sebagai indoktrinasi bagi para eks tapol PKI. Hal itu perlu dilakukan karena para eks tapol tersebut dianggap memiliki pemahaman yang tidak sesuai atau menyimpang dari ideologi bangsa.

Load More