"Bapak cerita misalnya saat masih muda dia di sana jadi juara sepak bola. Di sana, dia tidak menyebut Pulau Buru waktu itu. Jadi aku tidak ngeh. Tapi dia bilang dulu di daerah di luar Jawa dan Jawa Tengah, di sana itu bapak itu ikut kesebelasan. Jadi bapak itu waktu di Pulau Buru ikut tim sepak bola yang sering tanding-tanding gitu. Jadi dia cerita dan ada kejadian-kejadian lucu waktu masih mudanya tapi tidak pernah menyebut kata Pulau Buru," terangnya.
Begitu juga dengan sang ibu yang tidak pernah menyebut Plantungan. Hanya sebatas pengalaman-pengalaman yang dijalani di masa dulu, di luar daerah.
Cerita-cerita itu juga dikisahkan dengan lucu oleh kedua orang tuanya. Walaupun sebenarnya itu cerita yang menyedihkan.
"Jadi kita sering ketawa-ketawa mendengar dongenganya tapi aku enggak nyadar kalau itu semua kejadian terjadi ketika mereka ada di tahanan," tuturnya.
Baca Juga: Alasan TVRI Tak Tayangkan Film Pengkhianatan G30S PKI
Kepolosan Pipit itu tampak jelas saat ia masih berada di bangku SD. Tepatnya setelah dia menonton film G30S PKI. Gurunya di sekolah bercerita tentang Presiden Soeharto, pribadi hingga kekayaannya.
Dia dicekoki dengan informasi bahwa Presiden Soeharto itu sangat senang dengan anak yang pintar. Bahkan akan diberi hadiah jika memang pintar dalam cerdas cermat. Cerita tentang betapa makmurnya Soeharto kala itu.
"Terus aku pulang nih, bilang 'Pak, aku kok pengen jadi anak e Soeharto', lalu bapakku menangis. Sekarang kemudian pas aku ingatkan cerita itu dia ketawa. Kalau inget sekarang aku ya ampun, ya gimana anak SD dicekokin tentang keluarga bahagia dia (Soeharto) dengan anak-anak. Gimana menjadi simbol yang harus dicontoh keluarga bahagia ini," kata Pipit sambil terkekeh.
Marahku Sebagai Perempuan
Perspektif Pipit yang sudah mulai bergeser semakin ditambah lagi ketika ia mendengarkan cerita tragedi G30S versi penyintas perempuan.
Baca Juga: 1 Oktober 2021, Hari Kesaktian Pancasila atau Hari Lahir Pancasila? Cek Bedanya di Sini
"Cerita itu lebih menggugah dan lebih mengerikan," imbuhnya.
Kemarahan Pipit lantas beralih, bukan lagi kepada kedua orang tuanya melainkan kepada negara. Atas segala perlakuan yang diberikan kepada orang tua dan teman-teman orang tuanya.
"Aku mendengar interogasi yang dilakukan para tentara yang dilakukan kepada ibu-ibu yang aku dengar ceritanya itu. Aku ikut marah, sedih, jengkel dan kebencian mereka orang-orang yang berbaju militer itu kemudian sempat mengena ke aku," paparnya.
Banyak cerita di luar nalar yang kemudian didengar langsung oleh Pipit. Hal itu yang membuat sikapnya berubah 180 derajat dalam merespon tragedi G30S.
"Ya itu kemudian yang mengubah aku, berubah 180 derajat adalah ketika bertemu langsung dan mendengar cerita mereka dan apa yang mereka alami. Kemudian bagaimana mereka bercerita mengatasi itu. Jadi kemudian aku kayak mendapatkan pegangan. Aku cuma merasakan, mendengar," ungkapnya.
Ia juga menyadari alasan ibu-ibu tersebut tidak bisa kemudian terbuka mengenai tragedi itu. Mereka tidak mungkin bisa menceritakan kejadian yang dialami itu di depan umum secara bebas sebab itu sangat mengerikan dan memalukan.
Tag
Terpopuler
- Istri Menteri UMKM Bukan Pejabat, Diduga Seenaknya Minta Fasilitas Negara untuk Tur Eropa
- 7 Rekomendasi Mobil Bekas MPV 1500cc: Usia 5 Tahun Ada yang Cuma Rp90 Jutaan
- 5 Rekomendasi Pompa Air Terbaik yang Tidak Berisik dan Hemat Listrik
- Diperiksa KPK atas Kasus Korupsi, Berapa Harga Umrah dan Haji di Travel Ustaz Khalid Basalamah?
- 5 AC Portable Mini untuk Kamar Harga Rp300 Ribuan: Lebih Simple, Dinginnya Nampol!
Pilihan
Terkini
-
Liburan Sekolah, Sampah Menggila! Yogyakarta Siaga Hadapi Lonjakan Limbah Wisatawan
-
Duh! Dua SMP Negeri di Sleman Terdampak Proyek Jalan Tol, Tak Ada Relokasi
-
Cuan Jumat Berkah! Tersedia 3 Link Saldo DANA Kaget, Klaim Sekarang Sebelum Kehabisan
-
Pendapatan SDGs BRI Capai 65,46%, Wujudkan Komitmen Berkelanjutan
-
Kelana Kebun Warna: The 101 Yogyakarta Hadirkan Pameran Seni Plastik yang Unik dan Menyentuh