Scroll untuk membaca artikel
Galih Priatmojo | Hiskia Andika Weadcaksana
Jum'at, 01 Oktober 2021 | 11:08 WIB
Film G30SPKI [Youtube]

"Aku merasa selama ini aku merasa bahwa aku sangat menderita sekali. Ternyata setelah mendengar cerita mereka itu aku malu, malu banget. Bahwa aku itu belum apa-apa dibanding apa yang sudah dijalani mereka seumur hidup. Jadi itu yang kemudian merubah diriku. Kemudian itu menjadi catatan refleksiku pribadi ya," tuturnya.

Setelah itu Pipit merasa bersyukur dan berterima kasih bisa berkesempatan mendengar cerita versi para penyintas tragedi 65. Sebab sebelumnya ada banyak ibu-ibu atau bapak-bapak yang tidak pernah bercerita dengan keluarganya.

Baik dari keluarga yang tidak mau tentang cerita itu atau dari penyintas 65 sendiri yang belum siap menceritakan peristiwa itu kepada keluarganya sendiri.

Pipit sendiri mengaku sudah bisa bertanya kepada bapak saat itu tapi berbeda dengan ibunya. Ia sendiri yang merasa belum siap untuk mendengar banyak cerita dari versi sang ibu.

Baca Juga: Alasan TVRI Tak Tayangkan Film Pengkhianatan G30S PKI

"Aku takut ibu menceritakan kejadian yang mengerikan seperti yang aku dengar, aku dengar sendiri dialami ibu kayaknya aku yang enggak kuat. Jadi aku mendengar cerita ibu itu dari pihak-pihak lain, aku tidak tanya langsung ke ibu. Kalau tanya langsung ke bapak," bebernya.

Namun Pipit tidak menampik bahwa ia merasakan ada perbedaan saat menanyakan peristiwa tragedi G30S itu kepada penyintas pria dan perempuan. Menurutnya para penyintas pria itu seolah tanpa beban mereka bercerita. 

Ilustrasi kongres PKI. Di mana saat itu ada seorang bangsawan Kukar yang memilih menjadi kader PKI. [Istimewa]

Tetapi itu sangat berbeda ketika kemudian hal sama ditanyakan dengan penyintas yang perempuan. Diperlukan pendekatan tersendiri dan berhati-hati dalam mengulik masa kelam itu.

"Berbeda dari caranya bercerita dan ceritanya. Bukan kita kemudian membandingkan berat yang mana yo tidak itu berbeda, semuanya sama-sama berat. Kita tidak bisa menjastifikasi mana yang lebih berat. Tapi kalau bapak-bapak, refleksiku ya, bapak-bapak ketika peristiwa itu dia disiksa secara fisik gitu. Kalau ibu-ibu tidak hanya fisik tapi juga mental," urainya.

Kemudian, apa yang dialami oleh ibu-ibu itu tidak bisa serta merta diceritakan atau diumbar ke sembarang orang. Sebab kemudian bagi para penyintas perempuan cerita itu semacam membuka aib mereka.

Baca Juga: 1 Oktober 2021, Hari Kesaktian Pancasila atau Hari Lahir Pancasila? Cek Bedanya di Sini

"Kalau yang perempuan itu kan dia yang diserang keperempuanannya. Gimana coba kita mau menceritakan bahwa aku disiksa dengan dia dilecehkan secara seksual. Dia tidak akan bisa menceritakan itu. Pelecehan secara seksual itu kan sangat bagi kami yang perempuan itu kan memalukan ketika itu diceritakan itu, bukan orang yang melecehkan kemudian yang dihukum tapi kami dilecehkan yang dihukum," paparnya.

Ibu-ibu penyintas tragedi G30S ini juga tidak bisa langsung membuka diri kepada orang lain begitu juga kepada Pipit. Diperlukan waktu yang tidak sebentar untuk akhirnya ibu-ibu itu percaya dengan dirinya.

Dibutuhkan saling mengenal dulu dan itu, kata Pipit, waktu yang juga akan menuntun kemudian yang bersangkutan mau menceritakan kisahnya.

Hal itu bahkan juga berlaku pada keluarga para penyintas sendiri. Hubungan keluarga itu tidak kemudian membuat yang bersangkutan bisa langsung terbuka.

"Mereka mau bercerita kepadaku itu butuh proses pendekatan yang lumayan. Karena itu sebetulnya kan dia mengenal aku sebagai anak ibu dan dia temennya Ibuku, dia tahu aku dari kecil sampai kemudian aku gede. Tapi ketika dia mau cerita kan dia mikir-mikir dulu. Karena juga mereka menganggap aku anaknya to. Jadi tidak semudah itu juga dengan mereka menceritakan apa yang dialami. Prosesnya panjang itu," ungkapnya.

Stempel PKI dan Kafir

Load More