Scroll untuk membaca artikel
Muhammad Ilham Baktora
Minggu, 24 November 2024 | 14:44 WIB
Ketua Eksekutif Nasional Forum Masyarakat Pemantau untuk Indonesia Inklusif Disabilitas (Formasi Disabilitas), Nur Syarif Ramadan saat menjabarkan temuan pelanggaran di Pemilu 2024. (YouTube/Suaradotcom)

SuaraJogja.id - Penyelenggaraan Pilkada 2024 secara serentak tinggal menghitung hari. Tepat 27 November 2024 seluruh wilayah akan memilih kepala daerah, baik Bupati, Wali Kota hingga Gubernur.

Semua lapisan masyarakat memiliki hak yang sama untuk menggunakan suaranya dalam menentukan pemimpin baru, termasuk penyandang disabilitas. Bahkan pedoman pemilihan untuk disabilitas pun diatur di UU Nomor 8 Tahun 2016 tentang Penyandang Disabilitas yang menjabarkan bahwa penyandang disabilitas memiliki kedudukan hukum dan hak asasi manusia yang sama sebagai warga Indonesia.

Berkaca pada Pemilu 2024 yang dihelat pada Februari 2024 lalu, masih banyak ditemukan pelanggaran yang terjadi. Hal itu diungkapkan Ketua Eksekutif Nasional Forum Masyarakat Pemantau untuk Indonesia Inklusif Disabilitas (Formasi Disabilitas), Nur Syarif Ramadan.

Syarif menjelaskan pelanggaran tersebut merupakan hasil dari survei yang dilakukan oleh Formasi Disabilitas, Sasana Inklusi dan Gerakan Advokasi Difabel (SIGAB) dan Pusat Rehabilitasi Yakkum dengan jumlah responden 479 orang.

Baca Juga: Jelang Pilkada Kota Yogyakarta, 1.300 Lebih Linmas Siap Dikerahkan Jaga Tiap TPS

"Kami melihat dalam setahun terakhir, khususnya menjelang Pemilu 2024 peran, suara, keterlibatan kawan-kawan disabilitas itu tidak sekuat pada proses pemilu sebelumnya. Memang KPU dan Bawaslu melibatkan disabilitas, tapi gaungnya kurang kuat, karena mungkin ada beberapa isu juga," terang Syarif saat berbincang di kantor Suarajogja beberapa waktu lalu.

Syarif mengungkapkan bahwa KPU tidak menempatkan penyandang disabilitas pada Daftar Pemilih Tetap (DPT) sebagai pemilih disabilitas. Bahkan sebanyak 295 orang masuk dalam pemilih biasa.

"Dari survei itu hanya sekitar 30 sekian persen terdaftar sebagai pemilih difabel. Nah tentu ada implikasinya pada saat proses pencoblosan itu sendiri," ungkap dia.

Aksesbilitas, akomodasi penyandang disabilitas yang seharusnya terpenuhi, justru tidak maksimal sehingga mengganggu hak pemilih untuk menyalurkan suaranya. Hal itu terjadi karena memang sejak awal pendataan yang dilakukan KPU tidak inklusif.

Syarif mengambil contoh untuk disabilitas netra yang ikut dalam Pemilu 2024, dari 59 TPS tidak semuanya petugas menyediakan alat bantu untuk pencoblosan.

Baca Juga: Logistik Pilkada Sleman sudah Siap, Distribusi Aman Antisipasi Hujan Ekstrem

"Secara otomatis difabel tidak mandiri untuk menyalurkan hak suaranya, sehingga harus didampingi dan mencederai asas pemilu yang rahasia," ujar dia.

Syarif tak menampik bahwa ada beberapa TPS yang memang sudah menyiapkan alat bantu pemilih untuk mencoblos, tapi tidak maksimal karena ada hanya dua template atau alat bantu pemilihan untuk kertas suara Presiden dan Wakil Presiden serta DPD RI saja.

"Parahnya, petugas ini tidak memberikan hak pemilih disabilitas untuk memilih calon legislatif di DPRD Kabupaten/Kota, DPRD Provinsi dan DPR RI," keluh dia.

KPU Belum Maksimal

Syarif mengungkapkan hasil survei nasional ini sudah ditindaklanjuti dengan webinar termasuk publikasi ke KPU hingga Bawaslu. Hal itu tak lain untuk mengurangi persoalan yang sama saat gelaran Pilkada serentak dilakukan pada 27 November nanti.

"Karena saat Pilkada ini kan lebih sederhana, ada pemilihan Bupati/Wali Kota termasuk Gubernur. Nah dari kesederhanaan ini seharusnya KPU bisa lebih maksimal. Menyiapkan alat bantu bagi disabilitas dan lainnya," ujar Syarif.

Selain itu, ia juga menerangkan seharusnya KPU ikut melibatkan penggiat disabilitas untuk hadir dalam beberapa persiapan KPU untuk pelaksanaan Pilkada. Terutama saat bimbingan teknis (bimtek) bagi petugas KPPS yang akan bekerja nanti.

"Jadi perlu untuk memberikan perspektif kepada petugas bagaimana cara pandang disabilitas, bagaimana berinteraksi dengan disabilitas, mengenalkan keberagaman disabilitas termasuk bagaimana mengakomodasi mereka semua," ujar dia.

Meski begitu, sejauh survei ini disebar hingga masa kampanye Pilkada berakhir, tidak banyak ruang untuk penyandang disabilitas dilibatkan memaksimalkan penyelenggaraan Pilkada itu sendiri.

Membandingkan dengan Pemilu 2014 dan 2019, justru periode kemarin KPU lebih banyak menggandeng difabel menjadi relawan demokrasi. Para relawan diberikan ruang dan bertugas menyosialisasikan Pemilu secara inklusif.

"Ruang-ruang itu terbuka dan kita bisa ikut menyuarakan isu [disabilitas] ini. Tetapi di tahun ini hal-hal seperti itu, tidak ada dan itu yang jadi catatan," ungkap dia.

Load More