Scroll untuk membaca artikel
Galih Priatmojo | Hiskia Andika Weadcaksana
Jum'at, 13 Desember 2024 | 11:44 WIB
Seorang warga melintasi sejumlah lokasi pembuangan sampah liar di Jalan Pasiraman, Cokrodiningratan, Jetis, Kota Yogyakarta, Rabu (4/12/2024). (dok.Istimewa)

SuaraJogja.id - Tumpukan sampah tampaknya kini jadi pemandangan yang lumrah ditemui di beberapa sudut Kota Yogyakarta. Kondisi itu setidaknya sangat terasa sejak Pemda DIY memutuskan menutup secara permanen TPA Piyungan pada 1 Mei 2024 lalu.

Pasalnya usai ditutup secara permanen, tiga kabupaten dan kota yang selama ini mengandalkan TPA Piyungan sebagai jalan terakhir pembuangan sampah, dipaksa untuk melakukan pengelolaan sampahnya secara mandiri. 

Kota Yogyakarta dengan luasan wilayah paling kecil menghadapi tantangan berat. Meskipun kini perlahan sudah ada pengelolaan sampah secara bertahap, nyatanya hal itu masih belum optimal.

Seorang warga di Gowongan Kidul, Jetis, Kota Yogyakarta, Arya mengaku cukup kesulitan untuk membuang sampah. Setidaknya setelah pemerintah daerah resmi menutup TPA Piyungan.

Baca Juga: Pembangunan TPST Donokerto Capai 72 Persen, Diproyeksi Kelar Akhir Tahun Ini

Jika dulu ada pengepul yang rutin berkeliling hampir setiap hari untuk mengangkut sampah, kini gerobak sampah itu pun jarang datang untuk mengambil sampah di lingkungannya.

Seminggu sekali atau lebih bahkan gerobak sampah itu baru datang mengambil sampah di kampungnya. Padahal produksi sampah rumah tangga cukup tinggi mengingat ada lima orang di satu rumah itu.

"Kalau di sini biasanya njagakke tukang sampah tapi sekarang udah enggak rutin lagi ngangkutnya. Intinya susah sih," kata Arya.

Depo Mandala Krida yang kena tegur Menteri LH dalam sidak ke Yogyakarta, Selasa (19/11/2024). [Kontributor Suarajogja.id/Putu]

Kondisi itu berbeda ketika TPA Piyungan masih dibuka. Kala itu, mereka bisa mengandalkan gerobak sampah yang datang secara rutin atau membuang ke depo terdekat.

"Kalau dulu cukup rutin diangkut sampah rumah tangganya, kira-kira tiap dua hari sekali. Buang sampah ke depo juga bisa kapan saja," ungkapnya.

Baca Juga: Klaim Pengelolaan Sampah Masih Bagus, Pemkab Gunungkidul Bakal Siagakan 100 Pekerja Jaga Kebersihan Saat Nataru

Sebenarnya di kampungnya memang ada pula berbagai upaya untuk pengelolaan sampah. Baik untuk sampah anorganik berupa bank sampah maupun organik dengan biopori maupun losida (lodong sisa dapur). Namun upaya-upaya itu dinilai belum cukup efektif untuk mengatasi persoalan sampah di lingkungannya. Mengingat lahan dan kapasitas yang tak seberapa.

"Karena kapasitas dua jenis fasilitas pengelolaan sampah rumah tangga itu minim. Jadi nggak bisa mengakomodasi banyaknya sampah rumahan," tuturnya.

Arya hanya berharap ada pemetaan ulang lebih menyeluruh untuk mengatasi persoalan sampah di Kota Yogyakarta. 

"Ya mungkin berupa riset misalnya. Kalau di perkotaan itu tingkat kepadatan pemukiman lumayan tinggi, apalagi juga pusat-pusat bisnis. Depo yang di area sekitar juga nggak banyak," tandasnya. 

Upaya Pemkot Yogyakarta

Persoalan sampah di Kota Yogyakarta sempat menjadi sorotan Menteri Lingkungan Hidup/Kepala Badan Pengendalian Lingkungan Hidup (BPLH), Hanif Faisol Nurofiq. Menteri LH geram usai melihat tumpukan sampah di Tempat Pembuangan Sementara (TPS) atau depo Mandala Krida beberapa waktu lalu.

Pengambil sampah dari depo-depo di Kota Yogyakarta sendiri diketahui memang dilakukan setiap hari kecuali hari libur. Namun hal itu belum maksimal, mengingat kondisi Tempat Pengolahan Sampah Reduce Reuse Recycle (TPS 3R) milik Pemkot Yogyakarta yang belum berjalan optimal.

Adapun saat ini Pemkot Jogja memiliki empat TPST 3R yakni Nitikan, Kranon, Karangmiri dan Sitimulyo. Dari empat lokasi itu, total sampah yang bisa diolah baru berkisar 140 ton saja per hari sedangkan produksi sampah mencapai 200 ton per hari.

Dalam FGD Strategi Komunikasi Publik tentang Pengelolaan Sampah melalui Media Massa dan Media Sosial yang digelar Pemkot Yogyakarta beberapa waktu lalu, Kepala Bidang Pengelolaan Persampahan Dinas Lingkungan Hidup Kota Yogyakarta, Ahmad Haryoko mengatakan bahwa tanggung jawab pengelolaan sampah ada pada setiap warga.

Baik dari level rumah tangga hingga ruang usaha yang ada di Kota Yogyakarta. Setiap individu harus memiliki kesadaran dan berkontribusi dalam penanganan sampah.

"Di hulu ada Gerakan Zero Sampah Anorganik melalui peran 689 bank sampah dan Gerakan Organikkan Jogja dengan metode biopori telah menyasar kurang lebih 20.000 KK," kata Haryoko.

Menurutnya, jika di hulu pengelolaan sampah bisa berjalan baik maka pengelolaan sampah selanjutnya akan makin optimal. Dari sisi pemerintah sendiri, penyempuraan di sisi hilir terus dilakukan.

Termasuk melakukan pengoptimalan manajemen di depo-depo yang ada, penggunaan teknologi pengolahan sampah hingga menjalin kemitraan dengan pihak swasta.

Menurutnya penanganan sampah akan berjalan optimal ketika sampah bisa dikelola dengan baik secara individu. Nantinya secara komunal berdampak pada pengelolaan sampah di hilir.

"Optimalisasi pengelolaan sampah di Kota Yogya juga didorong dengan kajian retribusi berkeadilan berbasis berat sampah. Sudah dilakukan uji coba penimbangan di beberapa depo tanpa dipungut biaya, untuk mengetahui jumlah pembuang, sampah, dan cakupan layanan di tiap depo. Di mana penghitungannya sedang dalam proses pengkajian lebih lanjut," tuturnya.

Dari segi anggaran, Haryoko mengatakan pihaknya mendapatkan kucuran Danais sekitar Rp8 miliar. Anggaran itu untuk dua lokasi pembangunan dua TPS 3R Kranon dan Karangmiri Umbulharjo pada tahap awal 2024 lalu.

Dua TPS 3R tersebut kini sudah beroperasi secara normal, namun TPS 3R Karangmiri masih belum optimal dengan mengelola 15 ton sampah per hari. Sedangkan TPS 3R Kranon sudah berjalan normal dengan mengelola 30 ton sampah per hari.

"Dukungan Danais terkait pengolahan persampahan di Kota Yogyakarta sudah sangat bagus dan memungkinkan kami bernafas untuk bisa mengelola sampah. Setelah proses desentralisasi, kami sangat membutuhkan dana-dana seperti itu," ucapnya.

Dari sisi pengelolaannya, Haryoko menjelaskan, untuk TPS 3R itu menggunakan teknologi Refused Derived Fuel (RDF). Sehingga konsepnya tidak lagi menumpuk sampah tapi mengolah sampah.

Salah satu hasil pengolahan sampah itu adalah RDF sebagai bahan bakar alternatif pengganti batu bara. Tak hanya bersumber dari Danais, pihak kini masih merampungkan proses pembangunan TPS 3R di Sitimulyo dan Giwangan baik dengan teknologi termal maupun lainnya yang ditargetkan bisa beroperasional pada awal 2025.

Selain Danais, ada dana APBD yang mendampingi supaya otomatis mendukung pengadaan alat atau mesin. Tak hanya sekadar membangun TPS 3R, Pemda DIY juga mengucurkan Danais untuk operasional pengurangan sampah yang dialokasikan untuk proses edukasi.

Termasuk pelaksanaan bimbingan teknis (bimtek) pengolahan sampah organik berupa pembuatan biopori kepada masyarakat. Program itu dilakukan di 45 kelurahan melalui gerakan Organikkan Jogja sebagai wujud komitmen warga menyelesaikan sampah dari rumah.

"Dari total 200 ton sampah yang dihasilkan Kota Yogyakarta setiap harinya ini belum sepenuhnya selesai sehingga untuk sisanya dibantu pihak swasta yang berada di Sleman dan Bantul," ucapnya.

"Sekitar 180 ton sampah per hari telah dikelola pada 4 lokasi, yaitu TPS 3R Nitikan sebanyak 60 hingga 70 ton sampah, TPS 3R Kranon sebanyak 30 ton, TPS 3R Karangmiri sekitar 15 ton, dan TPS 3R Sitimulyo sebanyak 30 ton sampah. Ditambah pengolahan secara termal di Giwangan dan Sitimulyo berkisar 40 ton per lokasi serta sisanya lebih 20 ton yang harus diserahkan kepada pihak swasta," tambahnya.

Hilir Sudah Baik, Hulu Masih Jadi PR 

Peneliti pengelolaan sampah terintegrasi dari Teknik Kimia Fakultas Teknik UGM, Wiratni, menilai bahwa saat ini pengelolaan sampah di hilir sudah berada pada jalur yang tepat. Namun di hulu menjadi persoalan yang belum terselesaikan.

"Problemnya sekarang lebih di hulu, kalau yang di hilir sebetulnya pemerintah sudah baik arahnya untuk membuat pengolahan sampah di hilir," kata Wiratni.

Secara umum persoalan sampah tidak hanya terjadi di Yogyakarta saja. Namun, permasalahan itu menjadi lebih rumit ketika TPA yang menjadi andalan di Yogyakarta sudah ditutup secara permanen.

Keputusan penutupan TPA Piyungan itu yang kemudian membuat masyarakat dan pemerintah Yogyakarta kelabakan. Walaupun upaya desentralisasi sudah dilakukan di seluruh kabupaten kota yang ada.

Kondisi tumpukan sampah di lahan transisi zona I, TPST Piyungan, Bantul, Minggu (23/7/2023). [Kontributor Suarajogja.id/ Julianto]

"Perubahan mendadak ya kalau menurut saya enggak mungkin juga bisa selesai secara instan. Tapi kalau saya lihat usaha kabupaten, kota penghasil sampah yang gede Sleman, Bantul, Kota, itu mereka menurut saya sudah melakukan upaya ke arah yang benar," tandasnya. 

"Memang perlu waktu untuk benar-benar selesai, karena permasalahan sampah ini dari hulu ke hilir, yang pemerintah sekarang ini lakukan mereka berusaha menyediakan fasilitas di hilir dan ini menurut saya untuk kapasitas pemerintah ini sudah benar. Mereka memang harus menyediakan fasilitas itu," tambahnya.

Menurut Wiratni, evaluasi di sisi hulu tersebut yang hingga saat ini masih perlu dilakukan. Apalagi setelah selama ini masyarakat terlalu dimanjakan dengan keberadaan TPA Piyungan. 

Masih kurangnya kesadaran warga untuk memilah sampah menjadi persoalan mendasar. Pengolahan sampah milik pemerintah pun tak akan optimal jika sampah dari masyarakat masih tercampur atau belum terpilah.

"Nah pengolahan sampah itu semakin nyampur semakin sulit, belum bau dan sebagainya. Jadi ironi juga masyarakat protes ini pengolahan sampah bau lah tapi kan sampahnya dari mana sih, kan dari masyarakat juga. Tapi itu harus dimaklumi juga, karena mengubah perilaku itu enggak segampang membalikkan tangan gitu," ujarnya.

Wiratni melanjutkan pemerintah tentu tidak punya cukup energi dan sumber daya untuk mengedukasi masyarakat secara door to door atau pintu ke pintu. Di sini lah peran kampus-kampus di Jogja untuk merumuskan dan melakukan edukasi itu.

"Kampus siap membantu untuk mengedukasi di bagian hulu supaya mengolah beban pengolahan di bagian hilir," tegasnya.

Dari sisi teknologi, rencana kehadiran insinerator atau mesin pembakar sampah di Kota Yogyakarta disambut baik. Hal itu diharapkan dapat membantu penanganan masalah yang masih berlangsung di Kota Yogyakarta.

"Itu (opersional insinerator) bisa juga dengan kerja sama di kampus-kampus di Jogja. Banyak ahli yang bisa memastikan operasionalnya baik. Kampus bisa menjadi mitra untuk pemilihan teknologi yang tepat kemudian masalah monitoring analisis efisiensi insinerator dan sebagainya," cetusnya.

Di sisi lain, sektor informal pun perlu mendapatkan pembinaan lebih dari pemerintah. Mengingat tak jarang, pengepul sampah mandiri yang menjadi ujung tombak pengangkutan sampah di Kota Yogyakarta. 

Tidak kalah penting yakni pengolahan secara mandiri sampah organik di level rumah tangga. Apalagi, kata Wiratni, lebih dari 50 persen sampah yang diproduksi masyarakat merupakan sampah dapur atau organik.

"Sebenarnya kalau setiap rumah tangga rajin ngopeni komposter itu jumlah sampah yang dibuang ke (pengepu/depol) itu berkurang banget karena kebanyakan sampah rumah tangga itu ternyata lebih dari 50 persen itu sampah dapur sampah yang gampang busuk, sisa makanan," tegasnya.

Di sini lah peran dari berbagai pihak termasuk kampus untuk hadir memberikan edukasi menyeluruh di level hulu. Diperlukan sinergi yang kuat tak hanya dari pemerintah untuk mengatasi persoalan sampah di Yogyakarta. 

"Kondisi ideal itu sampah organik bisa dikelola sendiri di rumah masing-masing yang dibuang adalah sampah-sampah residu yang memang rumah tangga enggak bisa ngolah atau sampah pampers. Ini bagian yang harus diedukasikan ke masyarakat dan ini berat sekali kalau pemerintah kerja sendiri," pungkasnya.

Load More