Scroll untuk membaca artikel
Muhammad Ilham Baktora | Hiskia Andika Weadcaksana
Minggu, 04 Mei 2025 | 11:11 WIB
Simbah Saudah (92) di rumahnya, Candirejo, RT 2 RW 14, Sardonoharjo, Ngaglik, Sleman. [Hiskia/Suarajogja]

"Saya dari remaja sudah mijit. Saya enggak pernah kursus, tapi karena orang tua tukang pijat, cara-cara tahu, reflek saja," kata Siti, mengenang awal mula ia mulai menyentuh tubuh orang-orang yang butuh bantuan.

Meskipun rumahnya berada di Ngaglik, Sleman, namun pasiennya justru datang dari berbagai penjuru, ada yang dari Klaten, Bantul, dan Kulon Progo.

Anehnya, warga sekitar rumahnya justru banyak yang tidak tahu kemampuannya. Siti khusus melayani pasien ibu-ibu dan anak-anak, ada pula korban jatuh dari motor atau tangga. Tarifnya pun sederhana, minimal Rp100 ribu.

Setelah menikah dengan anak Saudah, hidupnya bergeser. Enam tahun kemudian, ia memberanikan diri mendaftar haji pada 2019.

Baca Juga: Warisan Catur Keluarga: Kisah Inspiratif Shafira, dari Bidak di Tangan Hingga Piala Dunia

"Ya enggak beda sama tukang becak itu. Sedikit demi sedikit menabung, alhamdulillah bisa terlaksana," ucapnya merendah.

Siti akan berangkat sebagai pendamping, menemani mertuanya yang sepuh. Ia sadar akan ada banyak tantangan fisik selama 42 hari di tanah suci.

Kursi roda sudah disiapkan, bahkan ia juga menyiapkan dana khusus untuk menyewa orang yang akan mendorongnya sang mertua.

"Kalau enggak nyewa, saya enggak mampu. Ya diniatin lah berapa [dana] bismillah," ujarnya.

Persiapan sudah dilakukan secara matang sejak sekarang. Mereka berdua direncanakan berangkat pada 20-21 Mei mendatang.

Baca Juga: Ngeri Kecelakaan di Depan Istana Boneka Sleman, Pengendara Motor & Pejalan Kaki Jadi Korban

Semua koper telah dibereskan: koper besar, tenteng, dan ransel. Baju ihram dan keperluan haji lainnya juga lengkap.

Load More