SuaraJogja.id - Program Makan Bergizi Gratis (MBG) yang menjadi salah satu program unggulan Presiden terpilih Prabowo Subianto mulai menuai kritik tajam dari kalangan akademisi.
Meski Prabowo mengklaim keberhasilan program tersebut mencapai 99,99 persen di tengah beragam kasus keracunan hingga belum dibayarnya sejumlah Satuan Pelayanan Pemenuhan Gizi (SPPG), kebijakan itu dinilai prematur dan bahkan bisa berdampak pada stabilitas fiskal Indonesia.
Ekonom sekaligus dosen Fakultas Ekonomika dan Bisnis Universitas Gadjah Mada (FEB UGM), Sekar Utami Setiastuti dalam diskusi Laporan Perekonomian Nasional di Yogyakarta, Rabu (14/5/2025) kemarin mengungkapkan, program ini terlalu tergesa-gesa.
Bahkan berpotensi menghamburkan anggaran negara jika tidak didukung dengan desain dan pelaksanaan yang matang.
Sekar memprediksi pertumbuhan ekonomi kuartal kedua 2025 ini tak lebih dari 4,87 persen.
"Tanpa desain program yang baik, program MBG ini seperti sedang bereksperimen langsung dengan masyarakat. Ini bukan sekadar soal niat baik, tapi juga soal efektivitas dan efisiensi penggunaan anggaran," kata dia.
Menurut Sekar, MBG saat ini tampak seperti uji coba kebijakan besar-besaran tanpa kesiapan memadai.
Apalagi pemerintah mengalokasikan anggaran sekitar Rp116,6 pada tahun 2025 dengan besaran biaya Rp10.000 per anak.
Anggaran yang sangat besar ini digunakan untuk menyediakan makanan gratis bagi pelajar dan ibu hamil di seluruh Indonesia.
Baca Juga: Resmikan SPPG di Sleman, Cak Imin Dorong BUMDes Jadi Pilar Ekonomi Makan Bergizi Gratis
Namun, Sekar mempertanyakan efektivitas dari anggaran sebesar itu jika tidak dibarengi dengan penargetan yang tepat.
Ia menyoroti bahwa tidak semua anak-anak di Indonesia mengalami kelaparan atau kekurangan gizi.
"Pertanyaannya, siapa yang benar-benar membutuhkan? Apakah semua anak perlu diberi makan gratis? Ada anak-anak yang uang jajannya Rp500 ribu per hari, masa juga diberi subsidi? Atau ibu hamil dengan penghasilan ratusan juta rupiah, apakah juga akan dikirimi makanan gratis ke rumah?," ungkapnya.
Menurutnya, pendekatan yang terlalu merata dan tidak mempertimbangkan konteks sosial-ekonomi justru akan mengakibatkan pemborosan anggaran dan pengalihan dana dari sektor-sektor produktif lainnya. Padahal APBN Indonesia memiliki keterbatasan.
Ia mencermati adanya penurunan belanja modal dan barang dalam postur anggaran negara untuk memberi ruang bagi program berbasis konsumsi seperti MBG.
Padahal, belanja modal selama ini menjadi penopang utama investasi jangka panjang dan pembangunan infrastruktur.
Berita Terkait
Terpopuler
- Rhenald Kasali di Sidang ASDP: Beli Perusahaan Rugi Itu Lazim, Hakim Punya Pandangan Berbeda?
- 19 Kode Redeem FC Mobile Terbaru 5 Oktober: Ada 20.000 Gems dan Pemain 110-113
- Beda Pajak Tahunan Mitsubishi Destinator dan Innova Reborn, Lebih Ringan Mana?
- 3 Shio Paling Beruntung Pekan Kedua 6-12 Oktober 2025
- Jadwal dan Lokasi Penukaran Uang Baru di Kota Makassar Bulan Oktober 2025
Pilihan
-
Dana Transfer Dipangkas, Gubernur Sumbar Minta Pusat Ambil Alih Gaji ASN Daerah Rp373 T!
-
Menkeu Purbaya 'Semprot' Bobby Nasution Cs Usai Protes TKD Dipotong: Perbaiki Dulu Kinerja Belanja!
-
Para Gubernur Tolak Mentah-mentah Rencana Pemotongan TKD Menkeu Purbaya
-
Daftar Harga HP Xiaomi Terbaru Oktober 2025: Flagship Mewah hingga Murah Meriah
-
Kepala Daerah 'Gruduk' Kantor Menkeu Purbaya, Katanya Mau Protes
Terkini
-
Dana Pusat Menyusut, Yogyakarta Pangkas Anggaran: Proyek Jalan dan Gedung Terancam Mandek
-
Yogyakarta Klaim Sukses Program MBG, Hasto Wardoyo: Tak Ada Kasus Keracunan
-
Wali Kota Jogja Ungkap Alasan Program Makan Bergizi Gratis Belum Maksimal, Ini Alasannya
-
Kisah Daffa Lahap 4 Lele di Menu MBG, Titip Pesan ke Prabowo: Mau Mie Ayam!
-
MBG Didera Isu Keracunan, Titiek Soeharto Minta 'Hukum' Dapur Nakal, Bukan Setop Program