SuaraJogja.id - Kasus kematian yang terjadi di Gunungkidul Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) disebut menjadi yang tertinggi dibanding daerah lain di provinsi tersebut.
Hal itu tergambar jelas dalam kasus bunuh diri yang terjadi pada Kamis (5/9/2019), yakni dua kali kasus gantung diri.
Menurut Ketua Yayasan Imaji (lembaga pemerhati bunuh diri) Jaka Januwidiastha, risiko bunuh diri di Gunungkidul memang lebih tinggi dibanding wilayah lain di DIY, karena ada beberapa faktor penyebabnya.
Berdasarkan penelitian yang Imaji lakukan sejak tahun 2015 hingga 2019 ini, rata-rata angka bunuh diri di Gunungkidul setiap tahun mencapai 25-30 kejadian yang dilaporkan ke pihak berwenang, seperti pemerintah desa ataupun ke kepolisian.
Baca Juga:Tewas Gantung Diri, Jejak Digital Mahasiswa S2 ITB Terbongkar
"Tetapi sejatinya angka bunuh diri lebih dari itu. Karena ada sejumlah wilayah di daerah Gunungkidul yang memiliki kesepakatan jika bunuh diri tidak akan diungkapkan ke publik. Dan mereka (warga) menganggap bunuh diri adalah kematian biasa,"tutur Jaka, Kamis (5/9/2019).
Jaka mengungkapkan, aspek kehidupan seperti beban hidup, beban ekonomi serta permasalahan psikologis menjadi pemicu kematian di ujung 'seutas tali' tersebut.
Berdasarkan pencermatan yang dilakukan Yayasan Imaji sejak tahun 2015 lalu, permasalahan psikologis yang berujung depresi atau tekanan jiwa menyumbang 43 persen penyebab bunuh diri di Gunungkidul.
Sementara penyakit menahun atau penyakit yang sudah diderita cukup lama dan tak kunjung sembuh menyumbang 16 persen penyebab bunuh diri. Seperti yang terjadi pada umumnya, derita penyakit menahun tersebut ternyata juga bermuara pada depresi. Dan sebanyak 10 persen lainnya disebabkan karena faktor ekonomi seperti hidup di bawah garis kemiskinan.
"Nah, selama ini seseorang enggan jika dikatakan depresi. Biasanya disimpulkan karena faktor ekonomi dan konflik keluarga," katanya.
Baca Juga:Pemuda Asal Pasuruan Gantung Diri di Lapak Parkiran
Usia Produktif
Hal yang lebih mengejutkan lagi, kematian akibat bunuh diri justru lebih banyak terjadi pada usia produktif yaitu usia antara 18 tahun-60 tahun. Imaji juga mencatat, sebanyak 54 persen pelaku bunuh diri berasal dari usia 18-60 tahun.
Sementara warga yang meninggal bunuh diri di usia di atas 60 tahun ada sekitar 39 persen. Sisanya sebanyak 7 persen berasal dari anak berusia sekolah.
Jaka menambahkan, kejadian bunuh diri justru dominan terjadi di wilayah-wilayah yang lebih maju sosio-ekonominya. Hal ini menunjukkan jika kejadian bunuh diri tidak pilih-pilih lokasi di daerah terpencil atau tidak dan dipandang karena faktor kemiskinan ekonomi saja.
"Sementara dari sisi gender, paling banyak dilakukan oleh laki-laki," paparnya.
Jaka menjelaskan, aksi bunuh diri didominasi kaum Adam karena di wilayah ini masih berkembang sistem Patrialistik di mana laki-laki dipandang lebih kuat dan lebih bisa menyelesaikan berbagai beban kehidupan.
Jika akhirnya tidak mampu menyelesaikan berbagai beban, hal tersebut akan membuat kaum lelaki menjadi serasa tidak berguna sehingga membuat harapannya putus.
Dalam aksi bunuh diri yang dilaksanakan oleh Sri Murtatik, lanjut Jaka, memperlihatkan sesuatu yang sangat miris. Karena ibu rumah tangga tersebut meninggalkan surat wasiat. Di mana salah satu isinya tentang doa atau harapan untuk suaminya semoga bisa mendapatkan istri yang lebih baik dari dirinya.
"Mbak mas dwik mak jaluk ngapuro sak gede-gedene. Mas dwik mamak titip adik, tulung sekolahno ngasi lulus SMA ben iso golek gawean ben go masa depane adik. Mmk ra kuat tenan, bim mmk jaluk ngapuro yo le ora iso nunggu koe tekan gede. Adik nurut mas dwik, mak iin yo sekolah sik tenan. (Mbak mas dwik, mamak minta maaf yang sebesar-besarnya. Mas dwik mamak titip adik, tolong sekolahkan sampai lulus SMA biar bisa mencari pekerjaan untuk masa depan adik, bim mamak minta maaf ya nak tidak bisa menunggu dirimu sampai besar. Adik ngikut mas dwik, mak iin juga sekolah yang serius)," tulis Sri Wurtatik dalam wasiatnya.
"Pak aku jaluk ngapuro aku urip gur gawe susah sampean. Mugo-mugo bpk ssk entuk bojo sik luwih apik seko aku. Sing pinter dadi genuk. Titip anak putu pak. (Pak saya minta maaf, saya hidup cuma membuat susah dirimu. Semoga bapak besok dapat istri yang lebih bagus dari aku. Yang pinter jadi Genuk. Titik anak cucu pak),"sambung Sri Wurtatik dalam surat wasiatnya.
Menurut Jaka, dalam kalimat terakhir surat wasiat tersebut tersirat jika ada hubungan yang tidak harmonis dari pasangan suami istri ini. Komunikasi keduanya juga terkesan tidak imbang satu sama lainnya.
Kontributor : Julianto