Pria yang memiliki tujuh orang putra itu lantas menyebut nama almarhum Koeswandi, seorang pimpinan percetakan ternama di Yogyakarta pada 1970-an. Keduanya kemudian bersepakat mendirikan yayasan bernama Kartika Sakti pada April 1971 untuk membuat terbitan media massa sendiri. Berawal dari modal sendiri, keduanya kemudian membagi tugas, rencananya Abdullah yang akan mengurus redaksi dan Koeswandi bertanggung jawab bagian produksi.
“Modalnya murni dari kami berdua, enggak banyak kok saat itu. Tapi saya sempat jual gelang istri untuk beli kursi dan meja kayu,” kelakar Abdullah.
Rapat demi rapat dijalani hingga muncul ide menerbitkan majalah dengan nama Sum Kuning. Bukan tanpa alasan muncul nama tersebut. Diakui Abdullah, Sum Kuning tengah menjadi perbincangan hangat dan berita nasional di tahun 1970-an.
Kisah Sum Kuning yang dikenal sebagai gadis penjual telur asal Godean berparas ayu berakhir tragis, lantaran disandera dan diperkosa anak-anak pejabat.
Baca Juga:DIY Usul Materi Bahasa Jawa untuk Seleksi CPNS dan Kenaikan Pangkat
“Jadi kalau kita jual majalah di jalanan sambil teriak-teriak Sum Kuning... Sum Kuning... pasti orang tertarik. kan dia sedang ramai diberitakan,” kata Abdullah sembari menyunggingkan senyum.
Sayangnya, ide tersebut tak mendapat persetujuan aparat dengan alasan kemanusiaan. Abdullah dan Koeswandi lantas mengadakan rapat kembali untuk mengganti nama majalah, hingga tercetus nama Djaka Lodang yang diadaptasi dari karangan Pujangga Jawa, Rangga Warsita.
Bersepakat dengan nama baru, Abdullah lantas mengurus perizinan ke Serikat Perusahaan Pers (SPS), Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) Yogyakarta dan pusat. Kala itu, Abdullah mengaku sempat mendapat kendala saat meminta persetujuan PWI pusat yang saat itu terpecah menjadi dua, yakni kubu BM Diah dan Rosihan Anwar.
Saat mengajukan perizinan dari PWI, Abdullah mengaku kesulitan mendapat tanda tangan BM Diah. Namun akhirnya dia beruntung, karena mendapat bantuan dari Menteri Penerangan Boediardjo yang dikenalnya sejak di Yogyakarta.
“BM Diah sulit untuk diganggu. Jam istirahatnya kan pukul 13.00, ya harus jam itu. Untung di PWI Pusat ketemu Menteri Penerangan dan jadinya dapat bantuan. Yang tadinya dijanjikan Senin, Jumat sudah jadi,” katanya.
Baca Juga:Keren, Ada Angkringan di Jepang, Penjualnya Mahir Berbicara Bahasa Jawa
Uniknya, Abdullah yang belum kembali pulang dari Jakarta ke Yogyakarta, malah mendengar adanya kabar akan terbit majalah Djaka Lodang. Berita tersebut sempat membuat gempar Yogyakarta. Adalah HM Samawi yang menyebarkan isu tersebut, melalui pemberitaan di Koran Kedaulatan Rakyat.
HM Samawi bukan orang baru buat Abdullah. Mereka pernah berada dalam satu penginapan yang sama saat berada di Jakarta dan menjadi teman curhat Abdullah.
![Pemimpin Redaksi sekaligus Pemimpin Umum Djaka Lodang Abdullah Purwodarsono (kiri) dan Redaktur Pelaksana Suhidriyo. [Suara.com/Husna]](https://media.suara.com/pictures/653x366/2019/12/02/33144-redaksi-djaka-lodang-dan-staf.jpg)
Sekali Terbit Sempat Kena Sindir, Tapi Berjaya di Zaman Judi Buntut
Meluncur di pasaran, tak seketika mendapat sambutan baik dari para pendahulu. Pengalaman itu pula yang menyambut Djaka Lodang saat kali pertama meluncur.
Protes melalui tulisan dalam koran mingguan Pelopor Yogya bertajuk: ‘Hidup dari perpecahan dalam perpecahan, didominasi parpol tertentu dan dibiayai Jenderal Surono Rp 200.000’, pun dituai Djaka Lodang di masa awalnya melangkah.
Banyak yang mengira Djaka Lodang berhubungan dengan kepentingan politik, karena hadir bertepatan di masa tenang Pemilu yang digelar kali pertama pada masa Pemerintah Orde Baru di Tahun 1971. Selain itu, kehadiran Djaka Lodang kerap dikaitkan dengan kelompok. Pun dikaitkan dengan perpecahan yang dialami 'saudara tuanya', Kembang Brayan.