Selama wawancara, Lipur tak henti-hentinya tertawa dan menertawakan kelelahannya sendiri bersama tim. Karena yang pasti, hal terpenting dilakukan adalah semua tim medis di rumah sakit saling menguatkan walau sekadar lewat grup WhatsApp.
"Jadi hanya ngobrol lewat itu, video call juga untuk teman yang ada di depan. Kami saling menguatkan. 'Yuk, gojek (bercanda) juga, ayo jam 9.00 WIB ini, dede dede (berjemur berjemur), saling gitu kan," suara tawa Lipur kembali tersalin di telinga.
Kala ditanya pengalaman apa yang paling menyentuh sisi emosinya selama menangani jenazah yang terpapar virus corona, Lipur seketika terkenang kepergian guru besar sekaligus dosennya di UGM, Prof Iwan Dwiprahasto, belum lama ini.
"Mungkin itu ya, selebihnya tidak terlalu. Mungkin karena sudah sering ya melihat seperti itu. Hidup saya kan di antara orang yang menangis, lebih sedih sebetulnya, karena lebih sering melihat orang sedih," ungkap Lipur, seraya berkelakar.
Baca Juga:APD Terbatas, Tim Rehabilitasi Medis Sardjito Buat Sendiri di Kala Senggang
Bagi Lipur, sebenarnya yang membuat ia tegar secara pribadi adalah dukungan keluarga.
"Misalnya nih keluarga saya, bukan dari kalangan medis yang pasti juga rawan termakan hoaks, baik itu suami, anak. apalagi harus WFH itu kan. Paling enggak kita kasih pengertian ke keluarga," ungkapnya.
"Bagaimana mereka mendukung saya walaupun mereka hanya menyapa, sehat ya. Yuk makan yuk. Atau menyiapkan apa yang saya butuhkan. Semangat ya mah, buat saya, rasanya itu sudah lebih dari cukup," ucapnya.
Kontributor : Uli Febriarni
Baca Juga:Ramai Warga Tolak Jenazah COVID-19, Ini Saran Dari Tim Forensik RS Sardjito