Kisah Pengusaha Peti Jenazah Jogja, Jarang Dapat Pesanan Saat Wabah Corona

Ia menjelaskan, pelaku usaha peti jenazah harus bersabar.

Eleonora Padmasta Ekaristi Wijana | Muhammad Ilham Baktora
Senin, 04 Mei 2020 | 14:12 WIB
Kisah Pengusaha Peti Jenazah Jogja, Jarang Dapat Pesanan Saat Wabah Corona
Seorang pegawai pembuat peti jenazah mengerjakan pembuatan peti di Jalan Brigjend Katamso, Kecamatan Gondomanan, Kota Yogyakarta, Senin (4/5/2020). - (SuaraJogja.id/Muhammad Ilham Baktora)

SuaraJogja.id - Sektor ekonomi menjadi salah satu bagian yang terdampak besar selama pandemi Covid-19. Beberapa di antaranya, pengusaha peti jenazah di Yogyakarta yang masih beroperasi di tengah pandemi corona.

Untuk diketahui, korban positif corona yang meninggal selalu disemayamkan menggunakan peti jenazah. Pemulasaran pun dilakukan dengan menyemprotkan bahan cairan disinfektan ke jasad untuk memastikan virus mati.

Salah seorang pelaku usaha peti jenazah di Jalan Brigjend Katamso, Kecamatan Gondomanan, Kota Yogyakarta, Hartono (53), mengaku bahwa selama wabah terjadi, permintaan terhadap peti tidak meningkat.

"Memang benar orang-orang saat ini mengubur jenazah dengan peti, karena memang ada protokol penanganan korban Covid-19, tapi selama ini permintaan terhadap peti ini biasa saja, tidak ada peningkatan," jelas Hartono ditemui di lokasi, Senin (4/5/2020).

Baca Juga:Selama Corona, Turis Asal China Nyaris Tak Ada yang Datang ke Indonesia

Ia menjelaskan, pelaku usaha peti jenazah harus bersabar, mengingat kematian seseorang tak bisa diprediksi meskipun ada wabah corona ini.

"Ya kematian kan di tangan Tuhan, kami juga tidak bisa meminta agar orang banyak meninggal. Bukan seperti itu, tapi meski wabah corona ini merajalela dan kebanyakan pasien yang meninggal karena corona harus dimasukkan peti, permintaan peti jenazah tak begitu banyak," jelas pengusaha yang membuat peti secara homemade itu.

Hartono menerangkan, pihaknya menjalankan usaha dengan sistem per orangan, sehingga menunggu pesanan dari masyarakat yang memesan peti untuk menguburkan orang meninggal.

"Saya sendiri menjual dengan sistem per orangan, bukan bekerja sama dengan rumah sakit tertentu, sehingga tidak bisa menentu jumlah yang terjual per harinya," kata dia.

Pengusaha peti jenazah, Hartono, saat ditemui di toko miliknya di Jalan Brigjend Katamso, Kecamatan Gondomanan, Kota Yogyakarta, Senin (4/5/2020). - (SuaraJogja.id/Muhammad Ilham Baktora)
Pengusaha peti jenazah, Hartono, saat ditemui di toko miliknya di Jalan Brigjend Katamso, Kecamatan Gondomanan, Kota Yogyakarta, Senin (4/5/2020). - (SuaraJogja.id/Muhammad Ilham Baktora)

Hal yang sama diungkapkan Iwing Endar Sukarmijan (57), pengusaha peti jenazah di Gondomanan. Meski tak banyak permintaan akan peti jenazah, dirinya masih menerima pesanan. Rata-rata model yang diminta jenis peti berbahan kayu Unggur.

Baca Juga:HMS Center Minta Pemerintah Bangun Narasi Optimisme untuk Lawan Covid-19

"Masih ada permintaan meskipun sedikit. Sehari saja belum tentu ada yang membeli, tapi selama pandemi ini peti yang sering dipesan yang model biasa. Jenis Kayu Unggur dan Kayu Ketapang yang dibalut kain putih itu," terang Iwing, yang sudah berjualan selama 30 tahun itu.

Satu peti dia jual dengan harga Rp600-800 ribu. Harga tersebut biasanya untuk peti berukuran 190 x 85 cm.

"Harganya sudah cukup terjangkau, tapi saya juga menjual peti jenis kayu jati yang diukir. Biasanya jenis kayu jati ini banyak dipesan oleh warga berkeyakinan Katolik, tetapi ada juga yang memiliki status sosial tinggi saat menguburkan juga menggunakan peti ini. Harganya sekitar Rp7 juta," katanya.

Pengusaha yang memasok peti dari wilayah Jepara ini tak memiliki pemasukan lain dari penjualan peti jenazah. Dia mengatakan, menjual peti ini sudah cukup untuk menghidupi tiga orang anggota keluarganya.

"Ya memang beberapa sektor ekonomi ada yang menurun, kami merasakan juga tapi tidak banyak. Saya sendiri tidak ada usaha lain, memang menjual peti jenazah ini harus sabar," kata dia.

Pengusaha lainnya, Eka Rusdiana, menuturkan, dirinya mendapat pesanan peti jenazah yang cukup banyak. Dalam sehari setidaknya ada satu hingga dua peti yang dikirimkan.

"Ya sehari bisa dua, saya biasa bekerja sama dengan beberapa rumah sakit, tapi tidak bisa saya sebutkan. Memang biasanya yang diminta adalah peti biasa, jadi bukan ukiran yang harganya sampai jutaan itu," terang dia.

BERITA TERKAIT

REKOMENDASI

News

Terkini