SuaraJogja.id - Tinggal di wilayah yang sangat terpencil karena berada di ketinggian bukan berarti harus menyerah dengan keadaan. Keterbatasan yang menghimpit justru menjadikan tantangan tersebut jadi motivasi untuk bisa lebih maju bahkan paling depan di antara yang lainnya.
Itulah yang dilakukan oleh Komunitas Rejeki Langit yang berada di Kalurahan Tegalrejo Kepanewonan Gedangsari Gunungkidul. Komunitas yang terdiri dari belasan anak muda asal 4 Padukuhan masing-masing Ngipik, Ketelo, Gupit dan Cermo kini mencoba mandiri untuk tidak bergantung pada orang lain.
Kini, belasan anak muda ini menangguk rupiah dari budidaya ikan Guppy, salah satu spesies ikan hias air tawar yang paling populer di dunia. Seiring kembali naiknya kegemaran masyarakat akan ikan hias di tengah pandemi, omset para pembudidaya ikan Guppy pun meroket hingga 300 persen lebih.
Berawal dari Cibiran Tetangga
Baca Juga:Mundur dari Pilkada, Ipar Presiden Jokowi Pamit Bupati Gunungkidul
Kesuksesan komunitas ini bermula dari kegigihan Suranto, warga Padukuhan Ngipik. Sejak lulus SMA, lelaki berumur 30 tahun ini bekerja mencari nasabah pada sebuah koperasi. Tahun 2014 yang lalu, ia memutuskan keluar dari koperasi tersebut untuk memulai menjadi seorang pembudidaya ikan Guppy.
"Sebelum resign, saya sudah beberapa kali mencoba usaha. Awalnya memelihara ayam terus gagal, kemudian lele juga gagal. Hingga akhirnya ada nasabah yang kebetulan memiliki bisnis ikan hias," kenangnya, Sabtu (1/8/2020) ketika ditemui di rumahnya.
Di awal memelihara ikan Guppy, ia nekat membeli sepasang indukan Guppy berjenis Dragon. Saat itu, ia membeli indukan tersebut seharga Rp 1 juta dan baru ia pelihara 1 bulan ternyata mati semua. Namun hal tersebut tak membuatnya patah semangat untuk membudidayakan ikan Guppy.
Dua tahun berjibaku mencoba berbagai teknik untuk bisa membudidayakan ikan Guppy tersebut. Dan selama dua tahun itu pula ia mencoba tabah dengan berbagai cibiran dan hinaan dari kerabat ataupun tetangganya. Karena kebanyakan dari mereka mencibir usaha yang dia lakukan.
Bagaimana tidak, wilayah Padukuhan Ngipik tersebut berada di perbukitan paling tinggi di wilayah Gunungkidul, setara dengan Embung Batara Sriten yang berada di ketinggian 859 meter di atas permukaan laut.
Baca Juga:Wahyu Purwanto Angkat Bicara, Dilarang Jokowi Jadi Cabup Gunungkidul
Banyak warga yang mencibir karena di wilayah mereka termasuk salah satu lokasi yang menjadi langganan kekeringan. Untuk mendapatkan air memang cukup sulit karena untuk mengebor perlu kedalaman 60-80 meter. Sementara ketika harus membeli air maka harganyapun menyentuh Rp 400 ribu pertangki ukuran 5.000 liter.
"Banyak yang mencibir apa bisa menghidupi keluarga. Apalagi saya punya istri dan anak. Tetapi cibiran itu justru membuat saya tertantang untuk membuktikannya,"papar bapak dua anak ini.
Harga Guppy hasil budidanyanya laku jutaan rupiah
Namun ia yakin dengan potensi luar biasa dari ikan Guppy ini. Karena ketika ikan guppy jika dipelihara dengan baik, akan menghasilkan pundi-pundi hingga puluhan juta rupiah. Bahkan, ikan guppy yang berkualitas dengan ciri warna yang cerah kini digandrungi sebagian besar masyarakat Eropa.
Di tengah potensi besar, saat ini tak begitu banyak orang yang mengetahui nilai jualnya, iapun serius membudidaya ikan
tersebut. Perlahan-lahan ia lantas memasarkan ikan yang ia budidaya ke pedagang ikan hias di Gunungkidul ataupun ke kota Yogyakarta. Bahkan ia mencoba memasarkan ke Klaten, Surakarta dan juga Wonogiri.
"Setelah berjalan hampir 1 tahun saya kaget, kok disini harga masuk toko hanya kisaran seribu rupiah padahal saya lihat di Internet harga jualnya mahal," ujar lelaki yang akrab dipanggil Surip ini.
Iapun berusaha mencari tahu bagaimana caranya meningkatkan nilai jual ikan yang ia budidaya. Ia kemudian berusaha mencari komunitas budidaya ikan guppy di Yogyakarta dan di Solo. Dari komunitas tersebut, ia mengenal pasar Internasional. Tak disangka, harga ikan guppy miliknya laku ratusan bahkan jutaan per pasang.
Di sisi lain, ia juga selalu belajar bagaimana memelihara ikan hias guppy yang benar. Menurutnya, ikan hias guppy sendiri memang kian digandrungi pasar internasional. Warnanya yang cerah dan bentuknya yang unik menjadi daya tarik sendiri.
Iapun mulai mendekati anak muda di mana ia tinggal. Ia menggandeng mereka untuk turut memasarkan secara online ikan yang ia budidaya Hasilnya ia bagi dua 50 persen untuk dirinya selaku pembudidaya dan 50 persen untuk yang bisa menjualkannya. Dan perlahan-lahan omsetnya meningkat dari Rp5 juta perbulan menjadi Rp15 hingga Rp30 juta perbulan.
"Dari situ semakin banyak pemuda yang bergabung. Selain memasarkan, mereka juga banyak yang tertarik untuk ikut membudidayakan ikan ini," tambahnya.
Dilirik Pasar Asia Hingga Eropa
Kini sudah ada 11 anak muda baik lelaki ataupun perempuan yang bergabung dengan dirinya. 11 anak muda dari 4 padukuhan ini bergabung membentuk kelompok Rejeki Langit. Perlahan-lahan mereka melakukan inovasi dan mematahkan cibiran warga yang meragukan mereka.
Mereka terus bereksplorasi agar ikan yang dibudidaya diminati pasar. Mereka mampu membuat ikan guppy memiliki warna cerah. Dengan memperhatikan kualitas air harus yakni memiliki suhu di antara 25 hingga 28 derajat celcius dan memiliki PH di antara 7,5 hingga 8. Biasanya ia menyiapkan air dua hari sebelum dihuni ikan guppy sebagai upaya menetralisir zat-zat berbahaya yang tergantung dalam air.
"Untuk menciptakan warga yang cerah memang harus jentik-jentik hidup," ujar dia.
Saat ini, ikan hiasnya mampu menembus ekspor baik di Asia bahkan Eropa. Ada empat kategori ikan yang ia jual yakni pejantan dengan harga Rp1 ribu hingga Rp10 ribu per ekor tergantung jenis dan kualitas, pasangan murah yang menjadi barang rijekan dengan kisaran harga Rp10 ribu sampai Rp15 ribu.
Sementara untuk pasaran Indonesia dengan kisaran harga Rp50 ribu hingga Rp150 ribu dan pasaran supermarket Internasional satu pasang dengan harga 15 hingga 35 sedangkan untuk hobi sampai 50 USD. Tetapi untuk menembus pasar Internasional memang ikan pilihan, dalam satu indukan di antara 50 sampai 100 ekor paling hanya beberapa pasang yang berkualitas.
Tak hanya itu, kelompok yang telah memiliki berbagai kolam budidaya ikan ini terus mencoba. Kini mengembangkan sayap memiliki unit usaha lain di samping perikanan. Mereka mulai menanam pepaya, memelihara kambing dan juga ikan lele. Unit usaha tersebut masih satu lini karena merupakan turunan dari usaha budidaya ikan Guppy.
Ia menjelaskan dengan memelihara pepaya, buahnya nanti akan digunakan sebagai bahan untuk menghasilkan Magot BSF yaitu lalat atau larva. Larva dari Magot tersebut akan dikeringkan untuk kemudian dirubah menjadi pelet. Pelet tersebut digunakan untuk memberi pakan lele yang juga mereka pelihara.
"Nantinya, air budidaya lele tersebut menghasilkan jentik-jentik hidup yang digunakan sebagai pakan Guppy alami. Di samping pelet memang ada pakan alami dan sangat bagus, yaitu jentik-jentik. Dan karena semua kami produksi ini maka keuntungannya semakin banyak,"terangnya.
Lewat Rejeki Langit Angkat Derajat Desa Terpencil di Gunungkidul
Saat ini, ia merangkul sejumlah pembudidaya ikan guppy di Kabupaten Gunungkidul. Dari sejumlah pembudidaya untuk penjualannya ia siap untuk membantu penjualan ke pasar ekspor. Saat ini dalam satu bulan sekitar 4 ribu pasang ikan guppy bisa saya jual dari teman-teman komunitas dan saya sendiri, untuk omzet keseluruhan sekitar Rp. 75 juta sebulannya. Dan sekarang, saat pandemi omsetnya naik 300 persen dibanding sebelum pandemi.
Berkat kegigihannya, berbagai penghargaan telah berhasil mereka raih baik yang bertaraf nasional ataupun internasional. Bahkan kelompok ini bisa secara mandiri mampu membangun jalan dengan pengerasan semen sepanjang 400 meter. Bahkan, kini banyak ibu rumah tangga yang bergabung dengan mereka dan membudidayakan ikan Guppy di rumahnya.
Untuk dirinya sendiri, selain mampu membeli beberapa lahan ia juga sudah berhasil membangun rumah ukuran 10x7 meter persegi. Meski kecil, namun untuk membangun rumah tersebut telah mengeluarkan uang di atas Rp 200 juta. Bagaimana tidak, harga material untuk sampai ke kediamannya memang cukup mahal.
"Bayangkan, untuk pasir 1 rit atau 1 truk sampai ke ujung dusun Rp2 juta. Dan untuk mengangkutnya ke rumah butuh biaya Rp.2 juta lagi. Karena harus dipikul satu ember satu ember dengan cara manual. Bisa seminggu pasir satu truk sampai rumah, belum lagi makannya. Sangat mahal,"keluhnya.
Rumahnya memang berada di paling atas padukuhan Ngipik. Untuk sampai ke rumahnya hanya bisa diakses dengan berjalan kaki ataupun menggunakan sepeda motor namun tidak bisa berboncengan. Jalanan yang sangat curam kini sedikit terbantu dengan pengerasan yang mereka lakukan dari hasil penjualan ikan Guppy.
Eko (29) salah satu anggota komunitas Rejeki Langit mengaku bergabung dengan komunitas ini karena memajukan wilayah mereka yang sangat terpencil di mana untuk sampai ke kampung mereka harus menempuh perjalanan 2 jam menggunakan sepeda motor dari Wonosari. Selama ini, mereka lebih dekat ke Kota Klaten ketimbang Wonosari.
"Saya itu lulusan D3 ikatan dinas. Jadi saya sudah dijamin bekerja bahkan sudah diiming-imingi gaji Rp 5 juta perbulan jika mau bekerja setelah lulus kuliah. Tetapi saya tidak mau, saya sudah manteb untuk berwirausaha dengan bergabung Komunitas Rejeki Langit ini," tandasnya.
Kontributor : Julianto