Tak sepeser pun dana dari pemerintah yang diterima hingga kini.
Kemudian, warga sekitar diajak berkomunikasi. Komunikasi ini bertujuan untuk tidak mengintimidasi juga mencemooh warga dengan status ODGJ ataupun keluarganya.
Warga juga menyepakati akan menerima dan memberlakukan ODGJ sebagaimana mestinya.
"Kebetulan ODGJ disini jumlahnya tertinggi di Gunungkidul, pemerintah juga kesulitan memetakan penyebabnya. misalnya pada 2020 ini saja, dari awalnya 31 sembuh dan tinggal 29 yang masih gangguan jiwa," jelas Sarju.
Baca Juga:Didesak Transparansi, Pemda DIY Kembangkan COVID-19 Monitoring System
![Salah seorang warga Desa Petir yang hidup berdampingan dengan ODGJ saat ditemui di rumahnya, Rabu (2/9/2020). [Kontributor / Julianto]](https://media.suara.com/pictures/653x366/2020/09/02/69130-odgj.jpg)
Sementara itu, salah satu keluarga ODGJ yaitu ibunda Edi, Rutinem mengaku, anaknya ini mengalami gangguan jiwa sejak duduk di bangku kelas empat sekolah dasar.
Meskipun Ratinem kini semakin tua dengan telaten tetap merawat Edi.
Di usia senja, ia tetap dengan sabar merawat anaknya yang mengalami gangguan kejiwaan. Ia tidak membeda-bedakan dengan dua anaknya yang normal.
Justru, Ratinem lebih sayang kepada Edi dan dengan sabar merawatnya. Setiap paginya ia menyiapkan sarapan untuk Edi.
Setiap pagi suara sang buah hati yang sudah dewasa tersebut menghiasi telinganya dan sang suami. Begitu keras didengar, ucapannya pun juga acak sangat sulit dipahami.
Baca Juga:Muncul 20 Kasus Baru di DIY, Siswi Pesantren di Sleman Tertular COVID-19
"Ya kalau makan menunya sama dengan saya dan anak-anak yang lain. Saya juga terkadang masih memandikan Edi,"ungkap Ratinem.