Mengenal Komunitas Garangan, Tekad Hidupkan Sumber Mata Air yang Telah Mati

"Image yang terbangun untuk Gunungkidul hingga kini adalah selalu kekurangan air. Saya risih dengan sebutan itu," ujarnya.

Eleonora Padmasta Ekaristi Wijana
Sabtu, 10 Oktober 2020 | 11:41 WIB
Mengenal Komunitas Garangan, Tekad Hidupkan Sumber Mata Air yang Telah Mati
Komunitas Garangan dari Gunungkidul - (SuaraJogja.id/Julianto)

SuaraJogja.id - Siang itu, seorang lelaki renta terlihat berjalan agak tertatih menenteng sebuah ember kecil di tangannya, menyusuri pematang sungai kecil yang telah kering di pinggiran Pedukuhan Mojosari, Kalurahan Playen, Kapanewon Playen, Kabupaten Gunungkidul. Sesekali ia berhenti untuk menegakkan tubuhnya yang terlihat agak membungkuk.

Di ujung jalan dusun, ia lantas terduduk bersandar di sebuah pohon mahoni yang cukup berumur. Ia lantas mengeluarkan bungkusan kecil dari kantong saku kiri bajunya yang telah dekil. Bungkusan tembakau tanpa merek dan kertas putih ia keluarkan dari bungkusan plastik. Dengan terampil ia lantas meracik tembakau dan melintingnya menjadi gulungan rokok kecil hingga menyalakannya dengan korek merah.

Waryadi (74), kakek yang telah uzur ini, tampak menolak tua dan tetap beraktivitas di sawah. Siang itu, Waryadi menuturkan baru saja dari sawah untuk menyirami tanaman jagung yang baru berumur dua minggu. Hampir setiap hari, ia memang harus menyirami tanaman jagungnya agar tetap tumbuh sesuai dengan yang diharapkan nantinya.

Waryadi memang harus bekerja lebih giat lagi di sawah kala kemarau mendera wilayah ini. Bagaimana tidak? Sumber-sumber air yang puluhan tahun silam menjadi sumber pemenuhan kebutuhan air bersih ataupun pengairan di sawah-sawahnya telah mengering, dan untuk menggantinya, warga Mojosari kini menggantungkannya pada sumur Bor Playen I ataupun Bogoran.

Baca Juga:Pulang dari Pondok Pesantren, Gadis 12 Tahun Dicabuli Ayah Kandung

"Lha pripun, sendang-sendang alit kalian belik sampun mati [ya bagaimana, telaga-telaga kecil atau sumur kecil sudah mati]," tutur Waryadi, Sabtu (10/10/2020).

Di musim kemarau seperti sekarang ini, ia terpaksa harus mendatangkan air dari sumur bor milik kalurahan. Jika demikian, tentu ia harus merogoh kocek lebih dalam lagi agar tanaman jagungnya mendapat air untuk bertahan hidup. Sebab, untuk mengalirkan air ke sawahnya melalui larik atau sungai-sungai kecil, ia harus mengganti ongkos solar sumur bor tersebut.

Jika harus menggunakan air dari sumur bor Bogoran, maka ia harus merogoh kocek Rp75.000 setiap jamnya. Sementara jika dari sumur bor Playen I, maka ia harus merogoh kocek Rp45.000 setiap jamnya. Padahal sekali mengairi sawahnya, minimal ia harus mengalirkan air selama 3 jam.

"Neng biasane kulo rombongan tiyang sekawan po gangsal [tetapi biasanya saya rombongan 4 atau lima orang]," ujarnya.

Untuk sekali masa tanam, ia harus mengairi pohon jagungnya minimal 10 kali, dan di musim kemarau menjelang penghujan ini, Waryadi mengaku telah mengairi sawahnya dari sumur bor Playen I ataupun Bogoran sebanyak tujuh kali. Bisa dibayangkan berapa ongkos yang harus ia keluarkan karena terkadang, hasil panenannya tak mampu menutup ongkos solar yang ia keluarkan.

Baca Juga:Tradisi Pembukaan Cupu Panjala, Membaca Masa Depan dari Bercak Kain Kafan

Kepala Dusun Mojosari Suratman mengakui bahwa sumber-sumber mata air di bantaran kali Mojosari telah menghilang dalam 10 tahun terakhir. Padahal di zaman dulu, kawasan Mojosari tak pernah kering karena air terus mengalir di kali Mojosari; mata air kecil masih terus mengeluarkan air.

BERITA TERKAIT

REKOMENDASI

News

Terkini

Tampilkan lebih banyak