SuaraJogja.id - "Beri aku 1.000 orang tua, niscaya akan kucabut Semeru dari akarnya. Beri aku sepuluh pemuda, niscaya akan kuguncangkan dunia". Kobaran semangat dari Presiden Pertama Indonesia IR Soekarno tersebut santer terdengar, terlebih menjelang momen perayaan Hari Sumpah Pemuda yang jatuh pada tanggal 28 Oktober setiap tahunnya.
Pandangan menohok yang disampaikan Bung Karno lewat pidatonya ini membuka mata bahwa nafas para pemuda berperan penting dalam dinamika sebuah bangsa. Setiap nyala semangat mereka dinilai bisa membawa perubahan berarti bagi negara.
Untuk diketahui, organisasi pemuda tumbuh subur dimana-mana. Di Universitas Gadjah Mada (UGM), ada berbagai Unit Kegiatan Mahasiswa (UKM) yang dapat dipilih sesuai dengan minat dan bakat mereka. Salah satu UKM yang cukup banyak dilirik mahasiswa adalah AIESEC atau Association Internationale des Etudiants en Sciences Economiques et Commerciales (Asosiasi untuk Pertukaran Pelajar dalam Ekonomi dan Perdagangan Internasional).
“Tiga kata yang menurut saya mewakili AIESEC itu leadership (kepemimpinan), youth (muda) dan impact (berdampak),” ungkap Levidia Dwi Budi Dharmayanti, Vice President AIESEC UGM saat bersua dengan tim Suara.com, Jumat (16/10/2020).
Baca Juga:Lahir dari Pembungkaman, Pendekar Pena Balairung Menjelma Jadi Petarung
Usut punya usut, ternyata AIESEC pertama kali berdiri pada 1948 silam dan telah berkembang di ratusan negara, salah satunya Indonesia. Tidak berjalan sendiri, AIESEC yang kemudian mulai merambah ke kota-kota memiliki dengan visi yang sama. Tidak saling tumpang tindih maupun bersaing satu sama lain.
“AIESEC itu organisasi induknya internasional. Terus terbagi ke beberapa regional. Nah Indonesia masuk di Asia Pasifik. Di Indonesia, AIESEC juga tersebar ke berbagai kota. Kalau di Jogja ada AIESEC UGM sama AIESEC UPN,” kata Levi.
“AIESEC di Jogja kan ada dua. UGM dan UPN. Sebenarnya gak ada bedanya, sama-sama AIESEC. Gak ada saingan sama sekali. Bedanya cuma kampus yang join. Kalau UGM ada beberapa kampus, diantaranya UII dan UMY,” imbuh Muhammad Alifandi Tranggono, LCVP of External Relations AIESEC UGM.
Rekam Jejak Terbentuknya AIESEC UGM
AIESEC dunia yang berpusat di Rotterdam Belanda ini telah menginjak usia 72 tahun. Namun, AIESEC UGM sendiri bisa dibilang masih berumur jagung. Sebab, perintisannya baru dimulai pada 2010 lalu. Meski begitu, sepak terjang AIESEC UGM jangan dianggap sebelah mata. Pasalnya, AIESEC UGM tercatat beberapa kali berpartisipasi di level internasional.
Baca Juga:Melawan Stigma Mahasiswa Paling Lama sebagai Punggawa Mapagama
Perintisan AIESEC UGM tidak terlepas dari peran Aghnia Adzkia, mahasiswi UGM yang kala itu mengikuti program volunteer di Ukranina. Perempuan yang kerap disapa Aghni tersebut berangkat dengan bantuan AIESEC Universitas Diponegoro (UNDIP). Sebab saat ia bertandang menuju Ukraina, cabang AIESEC belum berdiri di UGM.
Menurut cerita dari Levi, berdirinya AIESEC UGM bermula dari Aghnia Adzkia. Dikutip dari laman resmi UKM AIESEC UGM, Aghni telah merasakan pengalaman yang membuatnya berkembang baik dalam bidang kepemimpinan maupun softskill lainnya.
“Berawal dari pengalaman beliau saat jadi volunteer di luar negeri. Waktu itu kita belum official. Kita perpanjangan dari UNDIP. Setelah menjadi ekstension sekitar setahuan baru resmi berdiri sebagai AIESEC dari UGM,” jelas Levi lanjut.
Perjalanan panjang ditempuh Aghni untuk menjadikan AIESEC sebagai UKM resmi di UGM. Selama kurun waktu dua tahun (2011-2013), ia melakukan negosisasi dengan pihak kampus. Hingga akhirnya AIESEC diakui sebagai UGM dan mendapatkan SK Kepengurusan pada 2013.
Tujuh tahun berselang, AIESEC UGM telah tumbuh menjadi UKM dengan beberapa bidang divisi. Pengurus organisasinya pun telah berganti beberapa kali. Menurut penuturan Levi, saat ini ada 82 pengurus aktif AIESEC UGM.
“Saat ini ada 82 pengurus, tapi belum terhitung sama anak-anak baru. Kemarin kami baru bukaan, nah mereka ini masih intern,” tukas mahasiswa asal Semarang yang bergabung ke AIESEC UGM pada akhir tahun 2017 ini.
Lebih lanjut lagi, Alif menambahkan bahwa peminat UKM AIESEC UGM meningkat setiap tahunnya.
Apa Saja yang Bisa Dilakukan Selama Menjadi Bagian dari AIESEC UGM?
Pada dasarnya AIESEC UGM dibentuk untuk mengembangkan potensi kepemimpinan anggotanya dengan dua program utama yakni proyek sosial dan magang. Adapun tujuan gerak langkah mereka adalah mewujudkan pemuda yang memiliki kapasitas kepemimpinan.
LCVP of External Relations AIESEC UGM, Muhammad Alifandi Tranggono kepada Suara.com Minggu (18/9/2020) sore mengutarakan poin kepemimpinan yang diusung oleh AIESEC UGM. Menurut Alif, ada empat aspek yang menjadi target utamanya.
“Kapasitas kepemimpinan itu antara lain dapat mengenal diri sendiri (self awaraness), berkomunikasi dengan efektif guna mendorong tercapainya tujuan besar (empowering others), berorientasi kepada solusi ketika ada masalah (solution-oriented), dan berwawasan global (world citizen),” ujarnya.
Ada berbagai kegiatan yang bisa diikuti oleh anggota AIESEC UGM. Kegiatan tersebut terinteregasi baik secara lokal, nasional, maupun nasional. Salah satu kegiatan besar AIESEC UGM adalah Global Volunteer.
Menurut penuturan Alif, Global Volunteer dibagi menjadi dua yakni Incoming Global Volunteer dimana AIESEC UGM menjadi tempat diselenggarakannya proyek dengan peserta mahasiswa asing dari berbagai negara, dan Outgoing Global Volunteer dimana AIESEC UGM mengirimkan perwakilan untuk mengikuti proyek sosial di berbagai negara anggota AIESEC.
“Global Volunteer pelaksanaannya berkala, tetapi tidak tentu tanggal dan bulannya. Biasanya mengikuti musim,” imbuh Alif yang juga mahasiswa Program Studi Manajemen dan Kebijakan Publik UGM angkatan 2018.
Selain Global Volunteer, AIESEC UGM juga memiliki program Global Entrepreneur dan Global Talent yang dapat diikuti oleh para anggotanya. Konsep kegiatan ini adalah pengiriman peserta magang ke berbagai negara anggota AIESEC. Berbeda dengan Gloval Volunteer, waktu pelaksanaan program ini cenderung tentatif, biasanya berkisar antara 4 hingga 12 bulan.
Selain kedua program tersebut, AIESEC juga memiliki segudang kegiatan lainnya baik yang bersifat internal maupun eksternal.
Pandemi dan Dampak Bagi AIESEC UGM
Tidak bisa dipungkiri, pandemic telah mengubah banyak hal. Salah satunya dalam bidang pendidikan. Proses pembelajaran kini tidak lagi dilangsungkan secara tatap muka, melainkan dengan media daring.
AIESEC UGM sebagai wadah organisasi mahasiswa pun ikut menanggung dampak dari situasi pandemi ini. Alif mengatakan bahwa AIESEC UGM mau tidak mau harus beradaptasi.
Sampai saat ini, kegiatan yang bersifat offline belum dilangsungkan kembali. Apalagi yang terkait dengan jaringan internasional. Sebab sampai sekarang resiko penularan masih terbilang tinggi.
Kendati begitu, kegiatan AIESEC UGM tidak berhenti total. Pasalnya, pengurus telah memiliki terobosan. Kepada Suara.com, Alif bercerita soal kegiatan daring yang dilangsungkan oleh pihaknya.
“Di pandemi ini kegiatannya memang dilangsungkan daring. Salah satunya ada kegiatan yang dinamakan Sekolah Sycamore. Itu pengembangan kapasitas anggota,” tukas Mahasiswa MKP ini.
“Kalau kegiatan yang baru banget dilakukan itu Impact Circle temanya Media For Good. Itu baru saja selesai acaranya sebelum wawancara ini (20/10/2020 sore),” imbuhnya.
Pandemi belum diketahui kapan akan mereda. Oleh sebab itu, besar harapan Alif pengurus periode berikutnya akan bisa menyesuaikan diri di segala situasi dan kondisi.
“Periode saya selesai 31 Januari. Harapannya sih kedepannya AIESEC bisa terus beradaptasi dengan perubahan-perubahan yang tidak terduga,” ucapnya.
AIESEC Tidak Hanya Untuk Orang Berada Saja
Belum lama ini, AIESEC menjadi perbincangan warga Twitter. Bermula dari kicauan akun @collegemenfess pada Sabtu (17/10/2020).
“Pendapat kalian tentang organisasi ini dong. Aku maba lagi survey UKM,” tulisnya sembari menyertakan foto logo AIESEC.
Kicauan tersebut menuai berbagai respons. Banyak warganet menyambut baik lantaran AIESEC dinilai bisa menjadi wadah mahasiswa untuk berkembang. Terlebih untuk mereka yang menaruh minat terhadap hal-hal yang bersifat internasional.
Namun, ada segelintir warganet yang mencibir organisasi kepemimpinan ini. Menurutnya, organisasi AIESEC hanya menerima orang-orang berada saja.
Levi selaku Vice Presiden AIESEC UGM dalam unggahan akun Instagram @aiesecugm, Jumat (10/7/2020) pernah menuliskan narasi yang secara tidak langsung menjawab dugaan warganet tersebut.
Menurutnya Levi AIESEC tidak sama sekali menerapkan praktek-praktek diskriminasi. Justru sebaliknya, AIESEC menciptakan lingkungan yang mendukung untuk keluar dari zona nyaman.
“AIESEC adalah sebuah platform yang memberi banyak kesempatan dan pembelajaran tanpa diskriminasi atau keputusasaan,” ujar Levi dalam bahasa Inggris sebagaimana diterjemahkan Suara.com.
“Organisasi ini menciptakan lingkungan yang mendukung dan membuat merasa aman untuk mencoba apapun di luar zona nyaman,” sambungnya.