SuaraJogja.id - Kekerasan terhadap anak di Kabupaten Bantul masih sangat tinggi. Bahkan dibandingkan dengan 2019, jumlah kasus di Bumi Projotamansari tahun ini berdasarkan catatan sampai dengan Oktober lalu sudah menunjukkan peningkatan.
Ketua Satuan Tugas (Satgas) Perlindungan Perempuan dan Anak (PPA) Kabupaten Bantul Muhamad Zainul Zain menyebut, pada 2019 jumlah laporan yang masuk kepada PPA tercatat ada 155 kasus. Sedangkan di 2020, yang baru dihitung sampai dengan Oktober kemarin, jumlah kasus sudah menembus angka 120 kasus terlapor.
“Ini tentu kondisi yang sangat memprihatinkan. Perlu ada upaya dan tindakan yang nyata dalam mengatasi persoalan ini," kata Zainul saat dikonfirmasi SuaraJogja.id, Minggu (8/11/2020).
Zainul mengatakan bahwa implementasi Perda terkait kekerasan terhadap anak yang telah diketok sekitar dua tahun lebih ternyata belum efektif. Jika memang sudah baik, kata Zainul, maka tentunya Bantul sudah mendapat predikat sebagai Kabupaten Layak Anak (KLA) sejak beberapa tahun lalu.
Baca Juga:Ada Bentrok Warga, Stadion Sultan Agung Ditutup Sementara
Namun kenyataan berkata lain; bukan lantas kasus kekerasan anak menjadi lebih menurun, melainkan malah makin meningkat. Menurut Zainul, untuk lebih memaksimalkan kinerja Perda sebelumnya, perlu dibuat produk turunan hingga menyentuh masyarakat di tingkat desa.
"Kegelisahan ini harus bisa diminimalisir dan digarap bersama-sama oleh semua pihak. Dari mulai Pemerintah Kabupaten, DPRD, Pemerintah Kecamatan, hingga Pemerintah desa dan tentu masyarakat," tuturnya.
Lebih lanjut Zainul menjelaskan, produk turunan yang dihasilkan dari Perda tersebut dapat lebih diimplementasikan di lingkungan desa, ditambah lagi dengan sokongan dari program dan pembiayaan melalui APBDes.
Zainul menuturkan, selama ini belum ada tingkat kejelasan yang rinci terkait dengan anggaran yang dipatok untuk anak ditingkat desa. Hal itu terlihat dari belum adanya angka pasti berapa anggaran untuk anak yang sedang berbenturan dengan hukum, anggaran pencegahan agar tidak terjadi kekerasan, hingga anggaran untuk pegiat perlindungan Anak dan beberapa kasus lainnya.
"Kami sangat berharap desa bisa melihat ini sebagai sebuah momen untuk dapat membuat lembaga perlindungan anak ditingkat desanya masing-masing," harapnya.
Baca Juga:Ratusan Santri di Ponpes Krapyak Terpapar Covid-19, Ini Kronologinya
Menanggapi hal itu, Kepala Dinas Sosial Perlindungan Perempuan dan Anak (Dinsos P2A) Didik Warsito mengungkapkan, tingginya jumlah kasus kekerasan di Bantul salah satunya akibat tersedianya wadah untuk melapor, yakni Unit Pelaksana Teknis Daerah, Perlindungan Perempuan dan Anak (UPTD PPA) Bantul.
Meski demikian, permasalahan ini perlu penyelesaian secara lebih terintegrasi.
"Kekerasan terhadap anak itu adalah persoalan bersama jadi harus diselesaikan juga secara integrasi. Tidak bisa terus hanya mengandalkan Pemerintah Kabupaten saja. Perlu peran serta semua pihak," ujar Didik.
Terkait dengan menjadikan Bantul untuk mendapat predikat sebagai Kabupaten Layak Anak (KLA), kata Didik, hal itu merupakan tujuan yang terakhir.
Menurutnya, tidak akan ada artinya kalau berstatus KLA, tetapi kasus kekerasan anak, bahkan kekerasan seksual terhadap anak, masih belum bisa diatasi secara tuntas.
"Karena itu penyelesaian kasus akan mempengaruhi KLA. Jadi nonsense saja kalau berpikir KLA tanpa harus menyelesaikan kasus terlebih dahulu,” tegasnya.