Usai 22 Hari, Begini Kondisi SAP dan NA Bocah Korban Pencabulan di Bantul

AD mengaku bahwa peristiwa tersebut tidak disangka akan menimpa anak asuhnya. Kekerasan seksual terhadap anak di wilayah tersebut juga kali pertama terjadi.

Eleonora Padmasta Ekaristi Wijana | Muhammad Ilham Baktora
Jum'at, 27 November 2020 | 20:05 WIB
Usai 22 Hari, Begini Kondisi SAP dan NA Bocah Korban Pencabulan di Bantul
Ilustrasi kekerasan seksual, pelecehan seksual - (Suara.com/Ema Rohimah)

SuaraJogja.id - Kasus kekerasan seksual berupa pencabulan yang diterima anak 9 tahun di Wukirsari, Kecamatan Imogiri, Kabupaten Bantul masih dalam penanganan Dinas Sosial, Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (P3A) Kabupaten Bantul serta Unit PPA Sat Reskrim Polres Bantul.

Korban kekerasan seksual berinisial SAP (9) dan NA (11) saat ini sudah kembali beraktivitas di panti tempatnya tinggal.

Pengasuh panti, AD (39), mengatakan, penyuluhan dari Dinas Sosial P3A, melalui UPDT PPA Kabupaten Bantul, telah dilakukan sebanyak lima kali.

"Setelah kasus ini ditangani pihak kepolisian, anak-anak menjalani perawatan dan penyuluhan psikisnya. Awalnya masih syok karena mereka bingung. Namun, saya ikut mendampingi agar mereka bisa mengikuti arahan dari polisi dan Dinsos untuk kasus tersebut," jelas AD, yang meminta namanya disamarkan saat ditemui SuaraJogja.id di Wukirsari, Imogiri, Jumat (27/11/2020).

Baca Juga:Studi INFID: 70,5 Persen Masyarakat Sepakat RUU PKS Diberlakukan

Ia melanjutkan, dalam penyuluhan itu, para pengasuh dan korban mendatangi lokasi yang sudah ditentukan Dinsos. Korban mendapat sejumlah pertanyaan dan penanganan untuk menghilangkan rasa ketakutannya.

"Jadi kami selalu mengantar mereka ke UPDT, di sana anak-anak [SAP dan NA] mendapat beberapa pertanyaan dan juga penyuluhan terkait pemulihan psikisnya," terang AD yang sudah menjadi pengasuh selama 8 bulan ini.

Awalnya SAP dan NA merasa tidak nyaman ketika mendapat penyuluhan. Pasalnya mereka bertemu dengan orang baru yang dikhawatirkan melakukan tindak kekerasan yang sama.

AD membeberkan, dari lima kali penyuluhan yang dilakukan UPDT PPA, anak asuhnya mulai terbiasa di penyuluhan yang kedua kalinya.

"Anak-anak jadi bisa lebih terbuka di penyuluhan yang kedua. Sehingga penyuluhan ke-3 sampai dengan ke-5 kali ada perkembangan positif dari psikis dan aktivitas kedua anak kami," jelas dia.

Baca Juga:Kasus Terus Meningkat, Kemen PPPA Dukung RUU Penghapusan Kekerasan Seksual

Pengasuh panti, lanjut AD, juga memberi kegiatan yang lebih banyak untuk menghilangkan pikiran korban terkait kekerasan yang pernah mereka alami. Bahkan selama proses pemulihan psikis korban, pengasuh mengajak dua anak tersebut dan teman dalam satu panti berlibur keluar.

"Nah kegiatan ini inisiatif kami sendiri agar anak bisa melupakan pengalaman yang pernah mereka alami. Jadi kami beri kegiatan dan permainan di panti. Selain itu kegiatan kerohanian juga kami lakukan seperti mengaji," ungkap AD.

Tak hanya memberikan kegiatan seperti bermain, pengasuh juga memberikan penyuluhan dan pengetahuan bagaimana saat menghadapi orang asing.

AD tak menampik jika anak-anak di dalam panti belum semuanya paham bagaimana berinteraksi dengan orang lain. Meskipun sudah dekat, hal tersebut tak menutup kemungkinan terjadi kekerasan yang bisa menganggu mentalnya ke depan.

"Kami berikan soal pelajaran akidah, cara bermain yang baik seperti apa, lalu cara bergaul dengan orang lain seperti apa. Selain itu lebih berhati-hati dan waspada terhadap ada seseorang yang yang mencurigakan, kami berikan pengertian," ujar dia.

AD mengaku bahwa peristiwa tersebut tidak disangka akan menimpa anak asuhnya. Kekerasan seksual terhadap anak di wilayah tersebut juga kali pertama terjadi.

Ia berharap, kasus seperti ini menjadi perhatian pemerintah lebih serius. Meski baru pertama kali terjadi, pihaknya mendukung kebijakan pemerintah yang lebih matang dalam pencegahan atau penanganan korban.

"Kami juga berterima kasih sudah didampingi untuk pemulihan anak anak kami. Harapannya kejadian ini sekali terjadi di sini. Di sisi lain perhatian terhadap korban kami harap bisa terus didukung, termasuk ada kebijakan pemerintah yang bisa membuat hukuman setimpal yang dilakukan pelaku. Karena di Bantul sendiri kasus kekerasan pada anak juga cukup banyak," tuturnya.

Terpisah Kepala UPDT PPA Kabupaten Bantul, Silvy Kusumaningtyas mengaku hingga saat ini pihaknya masih melakukan assesment terhadap SAP dan NA. Penanganan psikis korban akan dilakukan sampai kasus selesai ditangani.

"Proses penanganan telah dijalankan. Akan kami lakukan pendampingan hingga kasus selesai. Saat ini sudah kami assesment dan kami pantau perkembangannya," kata Silvy.

Selain itu UPDT PPA Bantul juga mendampingi agar anak-anak mendapat hak perlindungan sebagai korban kekerasan.

BERITA TERKAIT

REKOMENDASI

News

Terkini